Saya menilai, landasan teoritis penyusunan empat pilar kurang kuat, landasan filosofisnya lemah, dan landasan historisnya terabaikan.
Dalam beberapa diskusi dengan teman-teman sering saya sampaikan, bahwa apabila memang akan dibangun "pilar" untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga harus melihat sejarah berdirinya Republik Indonesia.
Secara logika, empat pilar yang digagas tersebut tidak akan ada, seandainya tidak ada Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tanpa adanya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka tidak ada NKRI, dengan UUD 1945, yang berdasarkan Pancasila dengan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakatnya
Memang kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia terhadap nilai-nilai dasar dari Republik Indonesia semakin pudar. Hilangnya nasionalisme menjadi kegundahan sebagian masyarakat Indonesia.
Mungkin ini yang menyebabkan pejabat-pejabat negara tergopoh-gopoh dan dengan ceroboh menyusun dengan tidak cermat dasar-dasar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga mengabaikan landasan historis berdirinya Republik Indonesia.
Tulisan ini masih merupakan kerangka pemikiran untuk mendapatkan input, dan yang perlu di-elaborasi lebih lanjut.
Perlu dicermati munculnya kecenderungan untuk kembali melakukan glorifikasi terhadap empat pilar yang telah disosialisasikan, seperti glorifikasi Pancasila (P4) di zaman Orde Baru dan TUBAPIN di zaman Orde Lama.
Beberapa pejabat/kepala daerah mulai "jual kecap" tentang hal-hal dan kondisi ideal (das Sollen) yang dibayangkannya (Wunschdenken/das Seiende) yang sangat jauh dari realita (das Sein).
Sebenarnya mereka sendiri juga tidak paham mengenai Empat Pilar tersebut.
Realitanya (das Sein), masyarakat ini sedang mengalami krisis moral dan martabat yang sangat parah, apalagi melihat kenakalan†para penyelenggara Negara.
Banyak anggota dewan yang terhormat melakukan KKN dan selingkuh; "Wakil Tuhan" (hakim) memalsukan putusan MA yang mengurangi hukuman bandar narkoba, hakim berpesta narkoba, hakim perempuan selingkuh, jaksa perempuan menjual lebih dari 300 butir pil ekstasi barang bukti, karena ingin memiliki HP Blackberry, dll "kenakalan" para pejabat.
Yang terakhir adalah pernyataan yang sangat tidak pantas yang diucapkan oleh seorang "Wakil Tuhan" yang ingin menjadi "Wakil Tuhan Agung", alias hakim agung, yang mengatakan bahwa pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati.
Puncak dari kemerosotan moral dan etika adalah vonis penjara seumur hidup terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena terbukti menerima suap. Selain itu dia juga terbukti mengonsumsi narkoba.
Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi benteng terakhir dari penegakan hukum di Indonesia.
Dulu waktu di sekolah Dasar/Sekolah Rakyat, kita membaca cerita "Si Kancil Anak Nakal, Suka Mencuri Ketimun", sekarang kita menghadapi poli-TIKUS, alias tikus-tikus raksasa yang menggerogoti uang rakyat dan para penyelenggara serta tokoh-tokoh yang "nakal" yang mencuri uang rakyat.
Menurut pendapat saya, Panca Pilar masih harus diperjuangkan untuk realisasinya, dalam kerangka membangun bangsa dan jatidiri bangsa (nation and character building).
Melihat kondisi bangsa saat ini, saya melihat gagasan nation and character building, yang terhenti tahun 1965/1966, sangat perlu dilanjutkan.
Pada 3 April 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan, bahwa Frasa PILAR tidak boleh digunakan. Kemudian digunakan Frasa EMPAT KONSENSUS.
Namun hingga sekarang, banyak kalangan, termasuk MPR, masih tetap menggunakan Empat Pilar.
[***]Penulis adalah Ketua Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI)
BERITA TERKAIT: