Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Revolusi Mental Mulai Bergulir (1)

Tito Dilantik, Sebuah Tonggak Indonesia Baru?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Kamis, 14 Juli 2016, 10:49 WIB
Revolusi Mental Mulai Bergulir  (1)
zainal bintang/net
RABU 13 Juli 2016 DI Istana Negara, Presiden Jokowi melantik Komjen Tito Karnavian sebagai Kapolri yang baru menggantikan Jenderal Badrodin Haiti. Tito sebelumnya menjabat Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris).

Pada tanggal  15 Juni, Presiden menyampaikan surat permohonan persetujuan calon Kapolri kepada DPR, yang adalah Komjen Pol Tito Karnavian.  Tentang rekam jejak Tito sudah banyak diulas berhari- hari di berbagai media sejak ditunjuk Jokowi sebagai calon Kapolri.

Pada hari ini di Istana Jokowi telah melakukan langkah besar sejarah di dalam perpolitikan modern Indonesia. Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian resmi dilantik menjadi Kapolri (Kepala Kepolisian Republik Indonesia).

Tito Karnavian (Angkatan 1987) digerek ke atas  melompati lima angkatan senior Jenderal Polisi di atasnya. Ini sebuah langkah berani, dengan perhitungan yang penuh spekulasi.

Akan tetapi, toh  Jokowi telah melakukannya. Sebuah tindakan out of the box yang mencengangkan banyak pihak. Bukan cuma kalangan internal Polri, namun  juga publik ikut tersentak.

Tindakan Jokowi jelas tidak linear. Jauh dari tradisi yang membudaya turun temurun selama ini di kalangan Polri. Apa yang membuat Jokowi demikian berani?  Padahal semua orang  menilai Jokowi adalah sosok yang dinilai minus modalitas politiknya. Jokowi bukan pemimpin tertinggi sebuah parpol besar ; dia tidak berlatar belakang  militer atau Polri ; dia bukan pula tokoh sentral sebuah organisasi besar keagamaan di Indonesia.

Lantas dengan siapa Jokowi melakukan konsultasi, diskusi, perembukan dan sejenisnya untuk menetapkan keputusannya yang sangat spektakuler itu?
Bercermin pada peristiwa tahun Juni tahun 2001. Di kala Presiden Gus Dur hendak melengserkan Kapolri Jenderal Polisi Bimantoro dan menggantikannya dengan Irjen (Pol)  Chairuddin Ismail. Ternyata Gus Dur gagal. Dia tidak berhasil menaklukkan” soliditas internal Polri yang pada saat itu kompak berdiri di belakang Bimantoro.

Kapuspen Polri, Irjen (Pol.) Didi Widayadi pada waktu itu menegaskan, sikap Kapolri Jendral (Pol.) S. Bimantoro yang tidak mau mundur lantaran pergantian yang dilakukan Gus Dur tidak dilakukan sesuai prosedur.
Menurut Kapuspen, jika sesuai prosedur hukum dengan seizin DPR, Bimantoro pasti mau mundur. Selain itu, hingga saat ini sikap Bimantoro itu didukung oleh jajaran Polri mulai dari Mabes hingga daerah-daerah. Bahkan yon-yon Brimob di seluruh Indonesia menolak adanya intervensi pemerintah terhadap Polri.

"Dukungan untuk Bimantoro tidak hanya keluar dari pejabat Polri berpangkat jenderal, tetapi beberapa mayor polisi juga mendukung Bimantoro," tegas Didi lagi.

Lalu mengapa sekarang ini, di internal Polri tidak ada  gaduh, tidak ada reaksi keras, tidak ada protes? Bahkan adalah Komjen Budi Wasesa (Buwas) yang Kepala Bareskrim, spontan pertama kali mengatakan sangat mendukung pilihan Jokowi. Padahal sesudah nama Komjen Budi Gunawan yang Wakaplori sebagai calon kuat, nama Buwas juga cukup santer disebut sebut.

Keberanian politik Jokowi mulai dipertontonkan dengan gaya lembut ala Solo, tanpa banyak mukadimah”,  misalnya dengan sikap yang tegas dan tegar Jokowi dua kali menolak pencalonan Budi Gunawan menjadi Kapolri dalam dua bentuk yang berbeda.

Padahal semua orang tahu Budi Gunawan adalah jagoan Megawati. Ketua Umum PDIP yang meluncurkan Jokowi dari Solo (Walikota) ke DKI Jakarta (Gubernur) dan tiba Istana sebagai RI 1.   Dan yang lebih berani lagi karena tanpa tedeng aling-aling mengangkat Tito Karnavian. Lima angkatan yang dilompati, tapi keluarga besar Polri ternyata tetap senyap dan teduh.

Jika ditarik agak ke belakang, mungkin dapat ditemukan jawaban, mengapa Jokowi melakukan tindalan senekat itu dan boleh dikata hanya seorang diri. Selain faktor Megawati yang terabaikan, juga peran aktif JK (Jusuf Kalla) sebagai Wapres nyaris nol besar. Karena selentingan  beredar informasi JK sendiri punya jago untuk jabatan Kapolri.

Ke mana arah keputusan penting yang berskala sebagai sejarah besar itu menuju? Menurut perkiraan, "langkah kuda" sejarah itu memiliki jangkauan masa jauh ke depan.  Bersifat strategis: untuk sebuah Indonesia yang baru.
Apa itu Indonesia yang baru? Yaitu Indonesia yang bebas dari korupsi bersama saudara kembarnya yang bernama: budaya suap menyuap, mafia hukum, monopoli, konglomerat hitam dan praktek kartel yang terakumulasi dalam sebuah praktek:  Gangster Of Agreement yang melibatkan aktor pejabat publik.

Sudah menjadi rahasia umum, terjadinya praktek koruptif dengan segala kembarannya tersebut di atas, adalah virus destruktif yang sudah melembaga. Nyaris menjadi budaya dan bahkan telah bermutasi menjadi virus mematikan terhadap kehidupan berbangsa.

Cara operasi dunia ekonomi yang sangat agresif dan massif, berpengaruh negatif ke dalam kancah perpolitikan. Hukum yang direkayasa  bisa diperjualbelikan. Penegak hukum berkelindan dengan lemak dan zona nyaman dunia ekonomi. Yang pada gilirannya melahirkan monster yang sangat mengerikan. Monster itu bernama: jual beli perkara di dalam pasar politik dan melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat terbuka dan menakutkan.

Menakutkan karena benarnya. Masyarakat kecil sudah kehilangan tempat mencari kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan monopoli kelompok pemilik modal kuat (kongmerasi).  

Keadilan telah bergeser yang semula sebagai sarana masyarakat kecil mempertahankan hak konstitusionalnya. Ternyata telah berpindah  ke dalam halaman rumah-rumah mewah konglomerat, yang berpagar beton kokoh dan sangat tinggi di kawasan elit pula.

Rakyat kecil menangis siang malam meratapi nasib malang yang menimpanya,  di tengah kepekakan telinga dan ketidak pedulian lembaga dan aparat penegak hukum. Mereka, aparat penegak hukum itu, tanpa sadar telah mengemban hukum rimba: Siapa kuat siapa dapat !! Dengan bahasa gaul : Waninya piro??

Pemimpin rakyat alias pelindung rakyat, amat jauh dari senandung ratapan rakyat kecil. Rakyat kecil yang lahan-lahannya di kampung habis dikuasai konglomerat melalui suatu proses rekayasa hukum  yang tidak mungkin akan pernah adil.  

Pembakaran hutan yang terlegitimasi menjadi model penguasaan tanah di daerah-daerah potensial dan strategis. Sekaligus menjadi model penyingkiran rakyat dari tanah kelahirannya.
    
Menurut saya, doa rakyat kecil yang teraniaya itu mendapat resonansi dari yang kuasa. Indonesia diberi seorang bernama Jokowi. Tertakdir sebagai presiden pilihan rakyat. Yang menyukai blusukan mendengar suara hati dan jeritan rakyat. Konsep Sembilan Program Nasional yang dihimpun dalam Nawa Cita dapat dibaca sebagai  obesesi dan rasa traumatik Jokowi sejak lama atas nasib bangsa Indonesia yang kelam dan gelap di tengah gemerlapnya penyimpangan.

Presiden Jokowi adalah pilihan rakyat. Vox Populi Vox Dei: Suara Rakyat Suara Tuhan. Tradisi blusukan Jokowi banyak diremehkan sementara orang. Karena ditengarai hanya  sebagai upaya pencitraan belaka. Blusukan seorang pengusaha mebel, yang bergaul dengan rakyat kecil, ternyata memberinya inspirasi ketika menjadi Walikota Solo.

Model pembangunan yang dipraktikkan Jokowi di Solo  menempatkan harkat dan martabat rakyat kecil pada tempat yang seharusnya. Rekam jejak persentuhannya dengan  rakyat  kecil di Solo, mendapatkan medan yang lebih luas ketika menjadi Gubenur DKI.

Dan kini Jokowi telah menjabat sebagai Presiden Indonesia sejak Oktober 2014.  Nyanyian sendu dan keterpojokan kehidupan rakyat kecil oleh tekanan sebuah sistem,  yang tidak pro rakyat, membuat Jokowi menggali dan menyiapkan Nawa Cita lengkap dengan Tri Sakti dan Revolusi Mental.

Pengangkatan Tito Karnavian sebagai Kapolri adalah sebuah keputusan yang sangat spektakuler. Hal  itu berbarengan dengan berlangsungnya gendereng perang Jokowi,  yang ditabuh melawan kekuatan kartel. Jokowi sangat geram dengan kelompok kartel  yang mempermaikan harga daging sapi menjelang bulan suci Ramadhan.

Hal ini  harus dibaca sebagai sebuah tekad yang sistematis dan berbasis idealisme dari Jokowi. Secara terbuka menyatakan keberpihakannya kepada rakyat kecil. Dan sekaligus  pernyataan perang terbuka kepada kubu kartel.
Pergantian Tito secara psikopolitik dapat diduga akan disusul dengan pengangkatan pimpinan angkatan di unsur militer juga dari generasi seumur Tito. Dan secara alamiah pejabat negara di level penegekan hukum seharusnya juga akan bergulir dengan pedekatan yang sama.

Apa yang terjadi 2- 3 tahun ke depan? Sebuah bangunan Indonesia Baru sedang diletakkan fondasinya oleh Jokowi dengan gayanya yang kalem nyaris tanpa bunyi. Tokoh-tokoh kepolisian, militer dan pejabat negara penegak hukum diharapkan akan bersatu dalam sebuah bingkai simphony yang merdu : Indonesia harus bisa bebas korupsi.

Pengelolaan negara ada di tangan generasi muda. Generasi yang diharapkan belum terkontaminasi dengan budaya materialistis. Dalam bahasa orang orang di pinggir jalan : pemimpin Indonesia baru di masa depan, adalah anak anak bangsa yang belum  terkena virus ijon”  pemilik modal.

Dari sudut pandang adanya harapan akan lahirnya Indonesia Baru ini, tentunya tidak adil jika Jokowi dibiarkan bekerja sendiri, bergerak sendiri. Menanggung sendirian ekses kebijakan tumpang tindih peninggalan pemerintah  sebelumnya.

Seyogyanya, segera  ada konsolidasi nasional yang masif dan komprehensif segenap stakeholder bangsa ini, untuk menempatkan  perbaikan Indonesia ke depan sebagai adalah masalah KITA semua. Tanpa sekat-sekat. Tanpa kecuali. Tanpa warna bendera partai.

Penulis adalah wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA