Pasalnya, Mahdi nekat melayangkan Surat Keputusan (SK) mutasi dan Surat Peringatan (SP) 2 kepada Devfanny selaku Kepala Sekretariat Pimpinan sekaligus Kepala Humas (Kahumas) FFUI, tidak sesuai prosedur, Agustus 2015 lalu.
"Menurut kami kasus ini menandakan adanya ketidakberesan dalam persoalan ketenagakaerjaan di UI," tulis Andri melalui pesan singkatnya, Sabtu (11/6).
Andri berharap, ada kajian dari pihak pimpinan tingkat universitas terkait hal tersebut. Dengan demikian, pimpinan di tingkat universitas dan fakultas tidak lagi mengambil langkah-langkah yang sewenang-wenang, diskriminatif, atau menabrak aturan.
"Kami berharap agar secepatnya pihak fakultas merehabilitasi nama baik saudari Devfanny," pungkasnya.
Untuk diketahui, Mahdi terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dengan mengeluarkan SP dan SK Mutasi yang tidak berdasar dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini merupakan hasil putusan PTUN Jakarta Timur melalui nomor perkara 05/G/2016/PTUN-JKT yang memenangkan penggugat Devfanny Aprilia Artha atas tergugat, Mahdi Jufri.
Sidang putusan yang diketuai oleh Hakim Edi Septa Surhaza, Selasa (7/6) lalu itu, menyatakan tidak sahnya SK Mutasi dan SP yang dikeluarkan oleh tergugat selaku pejabat tertinggi di Fakultas.
Majelis hakim juga menolak eksepsi tergugat dan mengabulkan gugatan penggugat dalam pokok perkara berupa pencabutan SK yang menyebabkan dimutasinya penggugat.
Dalam putusannya, majelis hakim menilai bahwa berdasarkan Pasal 75 ayat 2 Peraturan Majelis Wali Amanat UI Nomor 004/Peraturan/MWA-UI/2015 tentang Anggaran Rumah Tangga UI, pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan ketenagaan di UI seharusnya berada pada Pejabat Pembina Kepegawaian, dalam hal ini rektor dan bukan pada seorang dekan.
[wid]
BERITA TERKAIT: