Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Teka-Teki Munaslub Golkar Di Tengah Dinamika Politik (2)

Ada Jejak Istana Dalam Konflik Golkar

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Rabu, 11 Mei 2016, 14:51 WIB
Teka-Teki Munaslub Golkar Di Tengah Dinamika Politik (2)
zainal bintang/net
WAKIL Presiden Jusuf Kalla, Selasa (10/5), mengungkapkan Presiden Joko Widodo marah karena namanya disebut mendukung salah satu calon ketua umum Partai Golkar yang  pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pertengahan Mei 2016 di Bali.

JK mengaku sehari sebelumnya bertemu Jokowi hanya berdua. "Jokowi sangat marah karena hal itu sama sekali tidak benar," kata JK kepada media.

Sementara itu pada hari yang sama media mewawancarai presiden di Istana. Setengah membantah keterangan JK, Jokowi balik bertanya kepada media:  "Memang saya pernah marah?".

Jokowi menolak berkomentar terkait dinamika politik internal Partai Golkar. Jokowi hanya tertawa kecil saat ditanya.

Apakah Jokowi marah atau tidak marah itu bukan hal yang penting. Bahwa Istana ikut kasak kusuk dan bantah membantah adalah hal lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya terkuak juga ke permukaan pihak Istana memantau proses Munaslub Partai Golkar.

Dengan bahasa lain, Istana ikut bermain”. Apa itu salah? Meminjam frasa LBP (Luhut Binsar Panjaitan).

Di Istana ada dua tokoh Golkar papan atas yang berpotensi mengisi atau diisi oleh presiden dalam konteks guidance signal kepada siapa "cinta" presiden akan diberikan untuk menjadi ketua umum. Yakni Wapres JK (Jusuf Kalla) yang mantan Ketua Umum Golkar atau kepada Menko Polhukam LBP mantan Dewan Pertimbangan Golkar.

Dua tokoh ini dalam banyak hal sering "berseberangan" sikap politik. Sering berseberangan di dalam hal memberi masukan kepada presiden. Yang pada gilirannya melahirkan stigma publik, seolah-olah keduanya "dipelihara" presiden, dalam kerangka mencari keseimbangan informasi untuk kepentingan langkah politik presiden ke depan.

Menko Polhukam LBP pun terseret juga panasnya perseteruan di Munaslub Golkar. Dia diisukan mendukung caketum Golkar Setya Novanto. Luhut membantah, tapi tak menepis ada "cinta" antara dirinya dan mantan Ketua DPR itu, tulis sebuah media.

Dalam konteks menciptakan rekonsiliasi dan stabilitas di dalam internal Golkar, pihak JK lebih unggul dari LBP. Karena Istana Wapres, yang notabene adalah rumah negara, berulang kali digunakan sebagai "posko" rekonsiliasi Partai Golkar yang "terpecah" dua pada akhir tahun 2014. Dan tamu tetap JK adalah kubu ARB (Munas Bali) dan kubu AL (Agung Laksono) hasil Munas Ancol.

Namun ada pertanyaan yang mengganjal: ketika pernyataan dukungan secara simbolik kepada pemerintah, kok diserahkan Ketua Umum DPP Partai Golkar ARB kepada Menkopolhukam LBP sebagai wakil pemerintah pada acara penutupan Rapimnas Golkar Senin, (26/1) di Jakarta Convention Center JCC. Padahal waktu itu JK juga hadir dengan posisi ganda, Wapres dan mantan Ketua Umum Golkar.

Sejak itulah maka Partai Golkar di bawah kepemimpinan ARB resmi menjadi partai politik pendukung pemerintahan Jokowi. Lantas apa yang salah  jika berangkat dari hakekat hasil Rapimnas tersebut, apabila antara Partai Golkar dengan Istana selalu ada komunikasi?

Nampaknya komitmen internal "di bawah meja" antara Istana dan tokoh tertentu di Golkar, diolah melalui jalur-jalur senyap sehingga membingungkan para Tim Sukses pendukung caketum , yang terkadang berperilaku sangat agresif. Begitu agresifnya berbagai pernyataan keras Timses terlihat saling menjegal. Menyebarkan aroma bau busuk "kampanye" hitam yang sengit.

Survei membuktikan, mereka saling menyudutkan, bahkan seakan sudah sampai pada tingkat "saling meracun" sesama kader Golkar. Atas dasar kejadian yang memiriskan hati publik ini, timbul keraguan: apakah kertas komitmen rekonsiliasi kedua kubu hanya akan menjadi kertas yang tersimpan di laci meja yang dingin dan terkunci di rumah jabatan Wapres JK?

Di luar Istana, berbusa-busa analisis pengamat politik mencoba memandu kader Golkar, khususnya para caketum, agar berperilaku penuh dengan kebajikan luhur idealisme. Harus mandiri, mesti konsisten, memihak rakyat, patuh AD/ART, perjuangkan aspirasi rakyat, haramkan politik uang, dan ini yang penting: jangan menjadi boneka penguasa.

Akan tetapi seruan para pengamat itu,  yang begitu bagus dan merdu, nyaris mewakili isi ceramah subuh di televisi swasta tentang kebajikan, ternyata tidak mengubah apa-apa di dalam praktek aktor politik terkait di lapangan. Karena yang marak di lapangan justru praktek politik uang dengan segala kemasannya. Dan juga tangan-tangan halus maupun kasar "pencipta boneka" dari Istana tetap saja bekerja tanpa jeda.

Tiga nama kader teras Golkar berputar-putar di atas pusaran nominasi figur unggulan yang akan "direstui" Istana. Yaitu Setya Novanto, Ade Komaruddin dan Airlangga Hartato. Ketiga nama ini saya sebut tanpa mengurangi penghargaan terhadap potensi yang dimiliki lima calon lainnya (Azis Syamsuddin, Mahyuddin, Priyo Budi Santoso, Syahrul Yasin Limpo dan Indra Bambang Utoyo).
 
Belakangan ini, terbuka dengan gamblang di ruang publik jejak Istana di Munaslub Golkar. Contohnya pada diri Akom (Ade Komaruddin ). Dia ini sangat beruntung karena posisinya sebagai kader HMI dan anggota ICMI membuatnya melejit dengan kencang di atas panggung pergumulan politik internal Golkar.
Banyak yang menduga JK dan BJ Habibie ada di belakang Akom.
Konsekwensinya Akom terus-terusan diintip lop senjata "penembak" ulung dari kubu Setya Novanto, saingan beratnya. Figur yang digantikannya dalam kasus kemelut Freeport dengan sebutan Papa Minta Saham”.

Adapun Setnov (Setya Novanto), yang direpresentasikan sebagai wakil kubu nasionalis tidak bisa dipisahkan dengan LBP dan ARB. Figur ini terus menerus digempur dan digoreng oleh "kompetitor"-nya, yang juga lawan beratnya, tapi yang juga sesamanya kader Golkar untuk menggagalkannya jadi Ketum Golkar.

Ketidaksukaan JK kepada Setnov terungkap lewat ucapannya kepada media, dengan meminjam "mulut" presiden dengan mengatakan: "Apalagi, mendukung seseorang yang pernah mencederai presiden dan wakil presiden, dengan mengatasnamakan presiden dan wakil presiden juga sebelumnya," ujar JK.

Posisi Partai Golkar memang sangat seksi bagi siapapun yang mau jadi calon presiden pada 2019. Infrastrukturnya yang mapan merata di 560 lebih kabupaten kota seluruh Indonesia . Boleh dikata perangkat seperti tidak dimiliki parpol lain. Terlebih posisinya sebagai "partai tengah", sangat ideal untuk merangkum dan merajut Indonesia yang heterogen dalam agama, budaya, golongan dan ras.

Jika kedua tokoh teras caketum Akom dan Setnov gagal membuat Jokowi tenang memasuki laga Pilpres pada 2019, maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul "kuda hitam".

Boleh jadi, dia adalah Airlangga Hartato atau salah satu diantara lima kader terbaik,  yang jarang disebut namanya, karena mungkin tidak punya sponsor di Istana sekelas JK dan LBP.

Pertanyaannya masih yang kemarin juga: kubu mana yang mangkal di Istana itu yang mampu "memasarkan" jagonya sehingga dapat "dibeli" oleh Jokowi.

Yaa…Istana juga yang punya "mainan" nih kayaknya. ***

*penulis adalah Wakawantim Ormas MKGR dan mantan pengurus Golkar era JK

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA