Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Teka-teki Munaslub Golkar Di Tengah Dinamika Politik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Senin, 09 Mei 2016, 06:54 WIB
Teka-teki Munaslub Golkar Di Tengah Dinamika Politik
zainal bintang/rmol
ADA dua pertanyaan besar yang mengemuka menyongsong Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Golkar yang akan digelar Minggu kedua Mei 2016 di Bali. Pertanyaan pertama,  sebuah harapan dan yang satu lagi, berkaca kepada bumi keras kenyataan: Berhasilkah Golkar menjadi mandiri. Ini harapan. Terpilihkah Ketua Umum Golkar tanpa campur tangan kekuasaan. Ini melawan realitas.

Pertanyaan ini menjadi penting, mengingat sejarah panjang Golkar yang 30 tahun lebih bisa eksis di era Orde Baru, karena  menganut model mobilisasi dari Munas ke Munas. Mobilisasi adalah artikulasi dari peran kekuasaan alias pemerintah.

Di era reformasi, budaya mobilisasi masih dipakai. Namun ada tambahan penggunaan "amunisi" alias dana segar. Hal itu terlihat pada hasil Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) bulan Juli 1998, yang menghantarkan Akbar Tanjung mengalahkan Jenderal Edy Sudradjat  dan menyingkirkan Harmoko.

Pastinya, karena ada dukungan kekuasaan (Presiden BJ. Habibie dan Panglima TNI Jenderal Wiranto). Ada suara miring tentang dukungan dana sejumlah pengusaha kepada Akbar Tanjung. Secara luas  masyarakat dapat cerita ini dari kebebasan pers hasil reformasi.

Berlanjut ke Munas VII Golkar di Bali Desember 2004 yang dimenangkan Wakil Presiden JK (Jusuf Kalla) sebagai Ketua Umum. JK dengan mudah menggusur Akbar Tanjung akibat permainan kekuasaan. JK yang menjabat Wapres didukung oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Lagi-lagi berita miring penggelontoran dana besar oleh pengusaha kuat mengiringi kemenangan JK tersebut.

Dan pada Munas VIII Golkar di Pekanbaru Riau Oktober 2009, JK tergusur oleh ARB (Aburizal Bakrie). ARB yang berkemampuan finansial yang besar, masih tetap perlu mendapat dukungan Presiden SBY yang diberitakan kurang nyaman kalau Surya Paloh yang menang.

Merunut catatan panjang sejarah Golkar dari Munas ke Munas, khususnya di era reformasi ini, peran kekuasaan kombinasi dana besar bagaikan tombak kembar yang tidak dapat dinafikan.

Pada paska Pilpres 2014, Golkar sebagai peraih suara kedua terbesar sesudah PDIP, di bawah  kepemimpinan ARB, mencoba berjalan di luar halaman Istana alias pemerintahan Jokowi.

Yang kemudian terjadi, partai Golkar tiba-tiba terpecah dua melalui dua Munas yang berbeda di tahun yang sama pada akhir 2014. Ada DPP Golkar hasil Munas Bali pimpinan ARB (Aburizal Bakrie) dan DPP Golkar hasil Munas Ancol ketuanya AL (Agung Laksono).

Setelah melalui lika liku "pertempuran" panjang, hampir satu tahun setengah, terutama di jalur pengadilan, akhirnya kedua kubu sepakat berdamai dan perhelatan Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) akan digelar di Bali.

Sudah dapat diduga, yang terpilih kelak sabagai Ketua Umum Golkar pada Munaslub di Bali, adalah figur yang diyakini bisa memberi jaminan ketenangan keberlangsungan pemerintahan Jokowi.

Kompromi politik besar ditengarai telah terjadi antara petinggi Golkar dengan Jokowi. Sebagai bonusnya: Jokowi bersedia menghadiri Munaslub Golkar di Bali.

Lantas, siapakah figur Golkar yang disepakati Jokowi yang akan menjadi Ketua Umum?

Setidaknya ada tiga tokoh Golkar papan atas yang sangat dekat dengan Jokowi secara politik. Yaitu Setya Novanto, Ade Komarudin dan Airlangga Hartarto. Ketiganya adalah Anggota DPR RI Fraksi Golkar yang cukup populer. Ketiganya sudah berkeliling berburu suara di hampir seluruh Indonesia.

Akan tetapi tentunya, yang paling berpeluang besar adalah, figur yang dipastikan tidak akan menjadi penjegal kemulusan Jokowi menjadi presiden kembali pada Pilpres 2019 disatu sisi, dan sekaligus mendapat dukungan luas dari daerah pemilik suara, plus "restu" ARB sebagai mantan Ketum.

Tugas utama Ketua Umum Golkar terpilih, adalah membesarkan Golkar; melakukan konsolidasi internal yang massif; mengembalikan kejayaan Golkar. Dan di atas segala-galanya menjadikan Golkar pemenang Pemilu 2019. Beban ini adalah amanat Munaslub yang harus diperjuangkan ketua umum terpilih.

Apabila Golkar menjadi pemenang Pemilu 2019, secara otomatis demi kehormatan partai, maka Ketua Umum Golkar atau kader Golkar versi konvensi (kalau ada konvensi) wajib hukumnya menjadi Capres alias Calon Presiden.

Jokowi bukannya tidak mengetahui hukum dialektika ini. Justru karena Jokowi mengetahuinya, bahkan mengetahui juga cara mengatasinya, maka Jokowi bersedia menghadiri Munaslub itu.

Berdasarkan peta bumi politik tanah air, telah terjadi polarisasi kekuatan politiki nasional. Ade Komarudin atau Akom memperoleh dukungan besar kalangan tertentu dari Istana. Dan Setya Novanto juga mendapat dukungan kekuatan politik yang cukup kuat dari lingkaran satu Jokowi, di luar pendukung Akom.

Dimanakah Jokowi berada?
Jika Akom dan Setya Novanto tidak bisa "dijinakkan", tentu Jokowi sudah punya langkah cadangan (emergency exit). Misalnya menengok Airlangga Hartarto, yang selama ini dikenal bersih, santun, anti konflik dan tidak ambisius (tidak berambisi menjadi presiden).

Karakter Airlangga tersebut di atas merupakan kekuatannya dan sekaligus kelemahannya. Sayangnya,  Airlangga tidak banyak meninggalkan catatan sebagai petarung. Padahal di dalam situasi transisi politik yang sangat dinamis ini, Golkar kudu dipimpin seorang petarung.

Akankah terjadi kejutan di Munaslub? Misalkan melalui pemandangan umum suara mayoritas yang berhak memilih, meminta ARB kembali memimpin Golkar sampai 2019.

Disini peran keberpihakan Jokowi alias pemerintah sangat menentukan.

Teka-teki ini akan terjawab di Munaslub minggu depan.

Selamat Bermunaslub!!! [***]

Penulis adalah Wakil Wantim Ormas MKGR dan mantan pengurus Golkar di era JK

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA