Pertama, kata Menteri Marwan Jafar, adanya fragmentasi penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat UU Desa.
Undang-Undang Desa, sebut Menteri Marwan, tidak hanya mengamanatkan pengaturan tentang keuangan desa, tetapi juga meliputi pengakuan terhadap kewenangan desa, kerja sama antar desa, penguatan lembaga kemasyarakatan desa, penetapan dan pemberdayaan desa adat, partisipasi masyarakat desa, dan lain-lainnya.
Semua ini, kata dia, mesti diimplementasikan secara utuh sehingga amanat UU Desa dapat terlaksana secara komprehensif.
Kedua, di tingkat pemerintahan desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Di satu sisi dana desa menjadi berkah bagi desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Namun di sisi lain belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.
"Akibat itu semua, dana desa terkesan menimbulkan ketergantungan baru karena belum digunakan untuk kegiatan yang dapat menopang perekonomian masyarakat setempat serta meningkatkan pendapatan asli desa. Dan yang lebih parah lagi adalah penggunaan dana desa masih melakukan replikasi atas "village project" sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur.
Ketiga, demokratisasi desa masih menghadapi kendala praktek serba administratif. Aparatus pemerintah daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari "Pusat" untuk mengendalikan pemerintah desa, termasuk dalam hal penggunaan dana desa.
Padahal, kata Marwan, UU Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.
"Di sisi lain, demokratisasi desa juga masih terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya berperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka," katanya.
Keempat, masih kata Marwan, proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa berhadapan dengan realitas masyarakat perdesaan yang didominasi oleh masyarakat miskin yang salah satu penyebabnya karena struktur penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria yang timpang. Masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa.
Masalah-masalah struktural seperti konflik agraria, kepastian hak desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan desa.
Kelima, partisipasi perempuan dalam musyawarah desa belum tersebar luas. Praktik pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.
Keenam, tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata ruang ala "Pemda/Dinas PU" cenderung tidak sebangun dengan aspirasi desa-desa. Agregat dari pembangunan desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan tata ruang perdesaan yang berpola "top-down". Hal ini tidak jarang menyebabkan desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi desa.
"Kompleksitas masalah dan tantangan itu mengharuskan kita semua segera berbenah diri dan mengambil tindakan konkrit untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan koordinasi dan konsolidasi nasional guna menyatukan berbagai aspirasi pihak yang ikut mengimplementasikan UU Desa," tukas Menteri Marwan.
[dem]
BERITA TERKAIT: