Demikian dijelaskan Direktur Charta Politika, Yunarto Wijaya. Menurut Yunarto, pertemuan Novanto dengan Presdir PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha, Riza Chalid, merupakan kesalahan paling mencolok. Menurut dia, fungsi eksekusi dan negosiasi dengan investor merupakan tugas dari eksekutif (pemerintah).
"Ketika Novanto mengaku bertemu CEO Freeport Indonesia dan tanpa berkordinasi dengan eksekutif, itu sudah tidak etis sebagai pimpinan legislatif," ujar Yunarto saat ditemui di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/12).
Kedua, Yunarto menilai dalam konteks pertemuan itu sendiri Novanto tidak membawa komisi DPR yang terkait soal pertambangan.
"Ketiga, beliau membawa seorang pengusaha yang sebenarnya tidak terkait tupoksi-nya mengenai pertemuan Ketua DPR dengan CEO PT Freeport Indonesia. Kecuali dia (Novanto) memaknai Ketua DPR sebagai calo atau makelar yang bisa memabawa pengusaha dalam konteks kontrak karya," imbuhnya
Poin keempat, lanjut Yunarto, dalam transkip dan bukti rekaman tidak ada pembahasan mengenai kontrak karya dalam konteks Novanto sebagai ketua DPR
"Yang dibicarakan malah proyek-proyek yang bersifat teknis yang seharusnya dibicarakan oleh seorang pengusaha," ujarnya
Dari keempat poin tersebut, Yunarto menjelaskan, kasus Novanto semestinya bisa disimpulkan dengan sederhana, tanpa harus berdebat mengenai bukti rekaman yang otentik serta mencari kata-kata pencatutan nama presiden dan wakil presiden
"Jangan upaya sekelompok anggota MKD mencoba logika berpikir anak TK, karena bukan tugas MKD mencari itu (rekaman asli)," pungkasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: