Karena itu sebenarnya ada alasan lain kenapa sejumlah partai politik yang tergabung Koalisi Merah Putih (KMP) ngotot agar Pilkada lewat DPRD.
"Sebenarnya masih ada satu alasan lagi, dan ini alasan pokok yang disembunyikan (semacam 'udang di balik batu') yakni untuk penguatan politik kekuasaan KMP di daerah-daerah," jelas peneliti senior The Indonesia Institute Abd. Rohim Ghazali dalam pesan singkat yang diterima
Rakyat Merdeka Online (Kamis, 10/9).
Berdasarkan kalkulasi kekuatan kursi legislatif di daerah, jika Pilkada dikembalikan ke DPRD, setidaknya ada 31 gubernur dan ratusan bupati/walikota yang akan berhasil direbut KMP.
"Jadi untuk meminimalisasi efek negatif, apalagi untuk membungkus 'udang di balik batu' realisasi substansi demokrasi dihilangkan adalah logika yang sesat dan menyesatkan," tegas kader muda Muhammadiyah ini.
Sesat karena efek negatif itu ibarat rumput yang tumbuh di sawah atau ladang di sela-sela tanaman pokok (padi atau palawija). Sementara menghilangkan rumput yang benar adalah dengan cara disiangi bukan dengan cara dicabut semua, termasuk tanaman pokoknya.
Tak hanya itu, menurut Rohim, logika pilkada lewat DPRD juga menyesatkan jika semata-mata dibangun atas asumsi “demokrasi perwakilan†yang tertuang dalam UUD 1945 sebagai realisasi dari musyawarah mufakat.
"Makna demokrasi perwakilan dalam musyawarah mufakat adalah dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan-kebijakan sesuai kewenangan anggota legislatif, yakni
budgeting, controlling, dan legislating, bukan termasuk kewenangan untuk memilih kepala pemerintahan," bebernya.
Sementara kalau lembaga legislatif ikut memilih eksekutif, dalam bahasa hukum, telah melakukan ultra petita, yakni mengeksekusi sesuatu di luar batas kewenangan yang dimilikinya. "Kewenangan legislatif ada tiga, dan itu sudah cukup. Jangan ditambah lagi dengan memilih kepala daerah yang menjadi hak warga negara," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: