Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID), Jajat Nurjaman, dalam pernyataan tertulis, Kamis (10/7), menyikapi sikap saling klaim dua pasangan Pilpres 2014 atas kemenangan versi hitung cepat.
Pertama, sampling error yang diakibatkan oleh tidak akuratnya sampel di TPS. Sebagai contoh sampel yang diambil ketika dilakukan survei kebanyakan bersumber dari sampel perkotaan, dan melupakan sampel dari pedesaan.
Faktor kedua adalah kemungkinan suntikan data secara ilegal. Hal ini dapat dilakukan oleh dua oknum petugas lapangan yang melakukan input data secara tidak benar, atau ada pihak lain yang mengetahui tata cara membuat laporan lembaga survei tersebut. Sebagai contoh, ada oknum yang mengetahui nomor telepon serta format laporan resmi dari lembaga survei tersebut sehingga bisa melakukan manipulasi data.
Jajat menjelaskan, faktor ketiga sekaligus yang paling penting, adalah hancurnya kredibilitas lembaga survei karena punya "kedekatan" dengan salah satu calon.
Karena tiga kemungkinan tersebut, hasil quick count, terutama dalam pemilihan umum yang selisih hasil suara antara kandidat kurang dari 10 persen tidak dapat digunakan sebagai dasar klaim kemenangan.
"Pak Joko Widodo dan Pak Prabowo Subianto seharusnya menyadari hal ini dan menunggu sampai tanggal 22 Juli 2014" tutup Jajat.
[ald]
BERITA TERKAIT: