Usulan PDIP Awasi Khotbah Bisa Berimplikasi Serius

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Minggu, 01 Juni 2014, 10:31 WIB
Usulan PDIP Awasi Khotbah Bisa Berimplikasi Serius
foto:net
rmol news logo Muncul wacana dari kubu Jokowi-JK untuk mengawasi khatib dan khotbah Jumat terhadap kemungkinan adanya 'kampanye hitam' di dalam masjid.

Pengamat politik senior, Muhammad AS Hikam tak memungkiri memang forum keagamaan, bahkan terkait dengan ritual semacam khotbah, tidak imun dari pesan-pesan politik. Baik di dalam kalangan Islam maupun non Islam, menurut Hikam, kegiatan tersebut sangat terbuka bagi munculnya pesan-pesan politik bagi jemaat.

Jika pesan politik tersebut dikemas dalam suatu konteks makro dan terkait dengan kepentingan umat, bangsa, dan negara pada umumnya, maka tidak akan menjadi sensitif dan kontroversial. Tetapi jika kemasan itu telah sedemikian rupa sehingga menjurus kepada kampanye dukung mendukung calon-calon politisi (termasuk capres/cawapres), maka masalahnya menjadi lain.

"Ritual keagamaan menjadi ranah kampanye dan kemudian menjadi tempat saling menuding, saling menjelekkan, dan bahkan mungkin saling fitnah," terang Hikam lewat komentar di laman facebook pribadinya, Minggu (1/6).

Khotbah dipandangnya bukan saja menjadi tak sah secara ritual, tetapi gagal menjalankan fungsi sebagai wahana memberikan tausiah (pesan) moral kepada ummat. Khotbah lantas tak ada bedanya dengan kampanye politik biasa dan berpotensi memecah belah jemaat.

Itulah sebabnya aturan main mengenai kampanye Pemilu dengan tegas melarang penggunaan forum ritual yang ada kaitannya dengan khotbah sebagai wahana kampaye. Sayangnya, menurut Hikam, publik seringkali tidak terlalu peka dan aparat pengawas Pemilu juga sami mawon alias setali tiga uang. Belum lagi secara teknis, ia menyoroti tampaknya masih belum ditemukan mekanisme pemantauan yang efektif terhadap kemungkinan penggunaan khotbah sebagai alat kampanye politik.

"Mengawasi dan memantau khotbah-khotbah, termasuk khotbah Jumat bagi umat Islam, lantas dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi penyalahgunaan tersebut," bebernya.

Persoalan yang muncul adalah apakah pengawasan dan pemantauan tersebut tidak akan dianggap sebagai sebuah tindakan sensorship atau pengintelan?
Apakah inisiatif yang dilakukan oleh sebagian pendukung pasangan Jokowi-JK untuk memantau Khotbah Jumat merupakan tindakan yang secara hukum bisa dipertanggungjawabkan, dan secara politik tidak beresiko menjadi bomerang bagi diri sendiri?

"Saya kira pihak PDIP harus memikirkan dengan sangat serius implikasi dari kebijakan seperti itu," katanya.

"Bukan berarti saya sepakat dengan pembiaran khotbah yang sudah menjadi kampanye capres, karena pada prinsipnya hal itu memang melanggar hukum," sambung Hikam.

Sepatutnya diingat bahwa menyikapi masalah yang satu ini tidak semudah dibayangkan. Sebab, lanjut Hikam, dalam kultur masyarakat Indonesia soal pembedaan antara ruang publik dan ruang privat masih sangat tidak jelas. Demikian pula apa yang dianggap sebagai pesan moral dengan pesan politik (termasuk mendukung salah satu pasangan capres/cawapres) seringkali tak mudah dibedakan.

Walhasil, salah satu tantangan dalam demokrasi di Indonesia bagaimana membangun sebuah kultur dan etika berkomunikasi di ruang publik yg rasional dan mencerahkan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi elit dan warga negara untuk bersama-sama mencari solusi agar ruang publik dan ruang privat tidak terlalu banyak warna abu-abu, walaupun juga mustahil untuk dikontraskan secara hitam putih.

"PDIP telah memulai upaya ini walaupun mungkin lebih didorong oleh reaksi terhadap maraknya pemakaian wacana keagamaan untuk kepentingan politik pencapresan," demikian Hikam.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA