"Langkah presiden yang memanggil lembaga negara ke Istana untuk menyelesaikan masalah DPT harus dicermati dengan sikap kritis. Pertama, langkah ini terlambat," tegas pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima Indonesia), Ray Rangkuti, kepada wartawan, Rabu malam (13/11).
Kisruh data pemilih yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah lama diperdebatkan. Tepatnya, menjelang penetapan DPT 23 Oktober dan 4 November. Saat itu banyak pihak meminta presiden memberi perhatian atas kisruh DPT.
Ray tegaskan bahwa KPU harus menjaga sifat independen dan kemandirian. Karena itu, pertemuan antara SBY dengan Ketua KPU serta Menteri Dalam Negeri dapat menimbulkan rasa was-was soal upaya mengintervensi KPU. Kekhawatiran itu makin menguat setelah Lembaga Sandi Negara pun terlibat dalam kerjasama dengan KPU. Ray tegaskan bahwa pokok soal saat ini tidak lagi pada KPU, tapi pada Kementerian Dalam Negeri yang diminta memverifikasi sisa data pemilih sebanyak 7,1 juta pemilih yang masih "siluman".
"Presiden tentu memiliki kewenangan penuh memantau dan memerintah Kemendagri agar secara total membantu KPU, khususnya dalam memastikan data NIK sekitar 7.1 juta pemilih. Dalam hal yang sama memerintahkan Deplu agar secara total membantu KPU memastikan adanya dugaan sekitar 4 juta pemilih di luar negeri belum dimasukkan ke DPT," urai Ray.
Sejatinya, Presiden hanya memiliki hak menjangkau hal-hal yang tadi disebutkan Ray. Karena itu rapat koordinasi presiden, Kemendagri, KPU dan DPR dalam soal data pemilih itu layak dipertanyakan dasarnya.
"Kita semua berkepentingan agar pemilu sukses. Tapi tidak membiarkan sikap-sikap yang dapat mengganggu kemandirian dan independensi KPU dalam mengelola tahapan pemilu," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: