Wiranto-HT Diuntungkan Sistem yang Membolehkan Orang Bermasalah Mencalonkan Diri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Rabu, 03 Juli 2013, 11:36 WIB
Wiranto-HT Diuntungkan Sistem yang Membolehkan Orang Bermasalah Mencalonkan Diri
arbi sanit/ist
rmol news logo Pasangan Wiranto-Hary Tanoesudibjo (HT) menggunakan peluang yang tersedia dalam sistem pemilihan kita yang tidak syaratkan calon dengan ketentuan tertentu menyangkut integritas dan latar belakang prestasinya bagi rakyat.

Pengamat politik gaek, Arbi Sanit, menegaskan, tidak ada regulasi pemilu yang haruskan calon menyampaikan sejarah kapabilitasnya, sifat kenegarawanan, sejarah prestasi membantu masyarakat selesaikan masalah di bidang apapun. Dan tidak diwajibkan bagi calon menyampaikan visi misi yang disusun berdasarkan tren, bukan berdasarkan keinginan individu atau partai.

"Sistem pemilihan kita ini berikan peluang bagi orang macam apapun untuk ikut pilpres. Sistem pemilu ini sia-sia, tak hasilkan pemimpin yang benar. Jadi  wartawan saja punya banyak syarat. Masak jadi presiden dan wakil presiden cuma penuhi syarat-syarat partai?" gugat Arbi saat diwawancara Rakyat Merdeka Online, Rabu (3/7).

Arbi tidak yakin pasangan dari Hanura ini memenuhi persyaratan sejarah yang baik untuk rakyat, bangsa dan negara. Kedua tokoh itu, menurut dia, tidak akan mampu menjawab kalau ditanya soal apa saja yang pernah mereka lakukan untuk memperbaiki kondisi rakyat dan krisis di segala bidang.

"Keduanya tak penuhi syarat, malah saya melihat mereka bikin banyak masalah. Hary Tanoe misalnya, membangun ekonomi kartel atau monopoli media. Memang itu demokrasi? Wiranto juga bermasalah soal peralihan pemerintahan," katanya.

Namun, dia juga melihat hal positif dari pencalonan mereka karena dilakukan lebih dini menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2014. Seharusnya, deklarasi calon ini dilakukan lebih cepat oleh semua partai politik agar proses pembangunan kepemimpinan dan pengenalan masyarakat berlangsung lebih lama dan berkualitas.

"Mereka-mereka itu kan baru pemimpin partai yang jumlahnya berapa persen. Lalu bagaimana syaratnya menjadikan tokoh kecil jadi pemimpin berskala nasional dan minimal didikung mayoritas atau lebih 50 persen penduduk? Bagaimana angkat itu ke atas? Kampanye presiden itu tidak mungkin tiga bulan doang. Harus ada periode pembesaran kepemimpinan," tuturnya.

Selain kedua sisi positif negatif di atas, pengajar ilum politik Universitas Indonesia ini juga mempersoalkan bahaya dari kolaborasi kekuatan militer dan konglomerat. Penyatuan ini hanya baik untuk pembangunan kekuatan politik namun sangat berbahaya bagi demokrasi. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA