Tak jarang kita saksikan para calon peserta UN menangis dan menjerit histeris ketika mengikuti bimbingan mental. UN sudah menjadi momok menakutkan bagi para pelajar.
Seharusnya, hari ini seluruh peserta UN sudah mendapatkan soal ujian. Ujian yang jadi satu-satunya indikator resmi bagi lembaga penyelenggara pendidikan formal untuk menentukan apakah seorang siswa layak atau tidak melanjutkan pendidikan ke tahap selanjutnya.
Terlepas dari kontroversi UN dan segala masalah yang mengikutinya, penyelenggaraan UN tahun ini menambah citra buruk pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah kepemimpinan Mohammad Nuh. Bagaimana tidak? UN tahun ini kehilangan syarat utama digelar serentak secara nasional. Syarat itu penting untuk menghapus bayang-bayang kebocoran soal yang terjadi sepanjang sejarah penyelenggaraannya.
Setelah meminta maaf yang sebesar-besarnya, Mohammad Nuh menyampaikan bahwa pelaksanaan ujian nasional untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan di 11 provinsi diundur menjadi Kamis mendatang (18/4).
Alasannya diutarakan dengan sangat ringan. Menurut Nuh, ada enam percetakan yang bertanggung jawab mencetak naskah UN setelah memenangkan tender. Hanya lima percetakan yang siap mendistribusikan naskah, sedangkan satu percetakan (PT Ghalia Indonesia Printing) menyatakan tidak siap karena "persoalan teknis."
"Sebenarnya sudah selesai, tapi ada kendala teknis memasukkan pengepakan ke dalam boks sesuai sekolah," ujar Nuh di depan media massa yang diundangnya ke kantor Mendikbud, Minggu (14/4).
Nuh pun, sekali lagi dengan entengnya, mengatakan, pergeseran waktu UN ini tak akan mengundang masalah psikologis. Pasalnya, UN diundur, bukan dimajukan. Mantan Menkominfo itu malah meminta para siswa memanfaatkan waktu luang itu untuk belajar. Nuh begitu menggampangkan persoalan.
"Kalau dimajukan, pasti akan banyak yang protes. Tetapi karena diundur kemungkinan besar murid senang sebab ada waktu tambahan untuk belajar," jelasnya, yang kemudian meminta para siswa memanfaatkan waktu luang ini untuk lebih giat belajar.
Pernyataan Nuh benar-benar menyentak nurani. Bukan hanya soal pemunduran jadwal ujiannya. Tapi, yang tampak oleh kita semua adalah kesan Nuh sama sekali menganggap enteng perjuangan sekitar 1,1 juta siswa yang tertunda menjalani UN, dalam mempersiapkan diri mereka berbulan-bulan.
Lain soal kalau Mohammad Nuh sudah lebih dulu menggelar survei terukur terhadap para siswa untuk menanyakan soal psikologis mereka kalau UN diundur. Apakah Mohammad Nuh akan tetap mengutarakan hal yang sama setelah dia melakukan introspeksi yang mendalam?
Mayoritas media massa nasional bernada prihatin terhadap pemunduran jadwal UN. Kemungkinan kebocoran soal menjadi titik keprihatinan utama. Beberapa penjabat Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi yang diwawancarai menyatakan, tentu saja pemunduran jadwal ini mempengaruhi psikologis siswa yang sudah demikian terbebani dalam mempersiapkan diri.
Bisa dibayangkan, kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota akan sangat sibuk mengumpulkan para kepala sekolah di wilayahnya guna menyosialisasikan pemunduran hal yang diakibatkan persoalan "sepele" dan "teknis" ini. Belum lagi tanggung jawab para pendidik untuk memberikan ketenangan kepada siswa.
Apa tanggapan Presiden? SBY yang lebih dulu dikabari hal itu, menurut Nuh, cuma meminta Nuh melakukan investigasi dan mengumumkan ke publik sejelas-jelasnya. Aneh pula kita lihat. Seharusnya, Muhammad Nuh selaku orang nomor satu di kementerian yang menyelenggarakan UN harus diminta tanggungjawabnya. Bukan malah seakan-akan Nuh-lah yang menjadi "korban" atau menjadi penyelidik kasus, karena sebetulnya segala persiapan ujian skala nasional ada di bawah kendali menteri.
Kembali lagi pemerintah menganggap sepele kenyataan bahwa 1,1 juta siswa yang harusnya menjalani ujian hari ini bersama jutaan siswa di provinsi lain, adalah manusia-manusia calon pemimpin Indonesia di masa depan. Para siswa mendapat contoh yang sangat buruk dalam hal tangggung jawab pejabat negara yang bidang tugasnya menyentuh langsung masa depan para siswa.
Semua juga tahu, penopang utama kualitas hidup berbangsa dan bernegara adalah dunia pendidikan nasional. Jika mengurus manajemen perencanaan UN saja tidak profesional, bagaimana kita berharap dunia pendidikan yang masih penuh polemik kurikulum ini bisa menjalankan tugas mulia mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertulis tegas dalam pembukaan UUU 1945?
Sangat sulit kita berharap pada pejabat publik yang dirinya tidak berbudaya malu dan tidak tahu begitu tingginya arti dan harga amanah rakyat. Memang sial rakyat Indonesia. Hampir tidak ada pejabat negara setingkat menteri yang menerapkan budaya tahu diri itu.
Menteri Mohammad Nuh sebaiknya meralat pernyataanya yang menggampangkan persoalan ini. Muhammad Nuh harus benar-benar menunjukkan bahwa dirinya bertanggung jawab, tahu malu dan mau mengevaluasi diri.
Jangan sampai DPR kita akan mendapatkan tambahan alasan untuk kembali menggiatkan "studi banding" ke luar negeri, ke negara-negara maju, untuk mempelajari bagaimana budaya malu dan karakter bertanggung jawab bisa begitu kental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di sana.
Soal budaya malu dan tanggung jawab, pikiran kita pasti melayang ke negeri Jepang yang para pejabat publiknya ketat menerapkan kode etik "bushido" warisan nenek moyang. Teringatlah kita pada suatu waktu di saat salah seorang menteri Jepang mengundurkan diri dari jabatan hanya karena "keseleo lidah" yang menyakiti perasaan korban tsunami.
Lalu, bagaimana dengan menteri di Indonesia yang menggampangkan masalah pendidikan nasional dengan dalih "persoalan teknis"?
[ald]
BERITA TERKAIT: