Dengan posisinya di Demokrat saat ini, yakni sebagai ketua Majelis Tinggi, ketua Dewan Pembinda dan ketua Dewan Kehormatan, SBY sudah cukup
power full dengan segala perangkat kewenangan konstitusionalnya.
"Pencalonan SBY sebagai ketua umum Demokrat justru akan menyeret dirinya ke dalam posisi yang merugikan. Dari segi kepentingan internal partai, dia tidak akan memberi nilai lebih apapun karena secara personal sudah terlanjur merepresentasikan diri sebagai salah satu faksi di tubuh Demokrat. Juga karena secara personal citranya sedang memburuk," kata peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Toto Izul Fatah, kepada
Rakyat Merdeka Online, Jumat (29/3).
Sementara dari segi kepentingan eksternal, menurut Toto, pencalonan SBY sebagai ketua umum Demokrat akan meningkatkan antipati publik yang ada saat ini, yang menganggap SBY lebih sibuk mengurusi partai ketimbang mengurus negara.
Jika image ini terus berlangsung dan menguat, itu sama artinya SBY sedang membiarkan dirinya semakin rontok atau sedang merontokkan citra dirinya sendiri. Padahal, di sisa waktu pemerintahan yg tinggal satu tahun inilah SBY seharusnya berpikir untuk membuat legacy yang bisa dikenang rakyatnya.
"SBY harusnya belajar banyak dari para pemimpin pendahulunya baik Pak Harto maupun Bung Karno," kata Toto mengingatkan.
Arena Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang akan dihelat di Bali, dalam hemat Toto, pilihan dilematis bagi SBY. Kalau dia memaksakan diri jadi ketua umum yang dipilih secara aklamasi melalui tangan besinya maka akan dicap sebagai pemimpin yang tidak demokratis. Tapi jika keterpilihannya dibiarkan demokratis dengan one man one vote, sudah pasti SBY khawatir dipermalukan jika kalah atau menang dengan suara yang tidak signifikan.
[dem]
BERITA TERKAIT: