"Adanya fragmentasi, atau politik pembelahan, semakin kuat di atas tahun 2010 sampai sekarang. Pada awal Demokrat berdiri 2001-2005, pamor SBY luar biasa sebagai pemersatu baik ke dalam maupun ke luar," ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, dalam diskusi "Panas Efek Anas" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (2/3).
Dia ingat, pada 2005 terjadi sedikit perpecahan lalu SBY turun tangan memasang Hadi Utomo sebagai Ketua Umum, maka konflik itu reda. Terbukti pula ketika nama Ibu Negara, Ani Yudhoyono yang melekat pada figur SBY, diwacanakan menjadi Calon Presiden dari Demokrat, maka terjadi peningkatan elektabilitas partai pada beberapa tahun lalu.
Namun, Qodari menjelaskan, pada 2010 terjadi penurunan pamor SBY yang terlihat dalam kekalahan telak kandidat ketua umum di kongres Demokrat, Andi Mallarangeng, yang cuma meraih 88 kursi. Sedangkan, Anas Urbaningrum mendapat ratusan suara jauh di atasnya.
"Sebelumnya, SBY yakin yang dia calonkan menang seperti pada 2005," ujarnya.
Nah, pembalikan pamor itu juga terjadi di luar Demokrat. Pada 2004 dia berhasil mengangkat elektabilitas partai baru hingga mengantarkannya jadi Presiden, dan pada 2009 juga begitu.
"Tapi kini, ada variabel lain yang menurunkan pamor SBY. Misalnya kasus korupsi. Dan, SBY tidak bisa mengontrol kader-kader yang bisa menurunkan elektabilitas partai," ujar dia.
Dalam pembicaraan pada diskusi itu didapat kesimpulan sementara bahwa pamor SBY yang menukik itu menyebabkan faksi dalam partai makin parah.
Anas Urbaningrum yang tersingkir dari jabatan Ketum pun masih mendapat panggung politik cukup luas dan memiliki kaki-kaki politik di daerah yang loyal.
[ald]
BERITA TERKAIT: