Ahli hukum tata negara, Saldi Isra, menyebut, apa yang terjadi pada Demokrat mirip sebuah pepatah asal Minangkabau yaitu "bila tersesat di ujung jalan maka pilihannya kembali ke pangkal jalan".
"Hal ini dibangunkan kembali setelah terjerembab ke titik yang hampir menghancurkan partai," katanya dalam diskusi "Tsunami Demokrat" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (16/2).
Namun, ribut-ribut dari luar Demokrat terus berlangsung karena partai ini sendiri yang meletakkan dua kekuasaan pada dua kutub yang berbeda.
"Partai secara konstitusional mendesain dirinya memberi ruang untuk matahari kembar. Ini sangat potensial bermasalah dan itu terjadi pada Demokrat," jelas profesor doktor hukum ini.
Di partai lain, PKS misalnya, memang diakuinya juga ada dua kekuatan yaitu Majelis Syuro dan DPP. Namun, kebanyakan di partai lain, ukuran kekuatan masing-masing kubu tidak seimbang.
"Di Demokrat, antara SBY dan Anas hampir sama kekuatannya. Mengapa desain konstitusi partai seperti ini dipilih? Karena ingin akomodir dua kekuatan. Tapi ada risiko yang besar," ucapnya.
Menurutnya, jalan terbaik adalah memadamkan salah satu matahari agar tak terjadi perseteruan yang berlarut-larut.
"Tapi dalam situasi saat ini sangat sulit karena Demokrat tak mungkin keluar dari matahari kembar itu," tegasnya.
Menurutnya, hal tersebut menjadikan para pengurus partai di bawah dua matahari itu seolah-olah menjalani politik "mendayung di antara dua karang".
"Dengarkan saja statement para pengurus DPP yang selalu menjaga titik di antara Anas dan SBY," kata dia lagi.
Faktanya, Demokrat menelan risiko parpol yang desain konstitusinya menyediakan peluang matahari kembar dan selalu menjaga ruang antara sisi SBY dan Anas.
"Menurut saya, ini problem akut di tubuh Demokrat," tambah dia.
[ald]
BERITA TERKAIT: