Tergerusnya kepentingan publik disebabkan oleh orientasi politik yang hanya tertuju untuk kekuasaan. Politik yang dikendalikan oleh sekelompok elite berkutat pada bagaimana kekuasaan diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara.Ironisnya, ketika persoalan begitu menghimpit masyarakat, kesalahan ditimpakan kepada Presiden SBY. Padahal kepentingan publik merupakan tanggung jawab kolektif pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah, terlebih dengan adanya otonomi daerah.
"Politik sebagai alat dengan separangkat aturan main sejatinya dipatuhi dan dijalankan secara konsisten oleh semua elemen masyarakat. Perseturan antara KPK dan Polri seharusnya tidak terjadi, apalagi mengundang Presiden untuk melerainya," ujar A. Bakir Ihsan, dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam diskusi bertajuk "Politik Tak Hanya Kekuasaan" di Hotel Mesra, Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (23/10).
Bakir berpendapat, semestinya kedua lembaga tersebut bisa membangun sinergi sebagai lembaga yang punya tanggung jawab yang sama dalam pemberantasan korupsi. Begitu juga perseteruan antara lembaga negara lainnya. DPR sebagai lembaga kontrol seharusnya lebih mengefektifkan fungsinya dengan melakukan kontrol efektif terhadap jalannya pemerintahan.
Begitu pun pemerintah pada tingkat daerah, mulai dari gubernur, bupati, dan wali kota yang memiliki tanggung jawab untuk menjawab persoalan masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Universitas Mulawarman, Sarosa Hamongpranoto memaparkan, salah satu faktor terjadinya problem politik saat ini adalah formulasi hukum yang diciptakan oleh orang-orang yang dipenuhi oleh kepentingan politik, bukan kepentingan publik. Formulasi hukum yang bermasalah secara otomatis akan membuat implementasinya bermasalah, apalagi pada tahap eksekusi.
Menurut Ketua Program Pascasarjana Hukum Universitas Mulawarman ini, problem tersebut dengan sendirinya akan berdampak pada kerja Presiden yang selalu menjadi pusat kritik dari masyarakat. Padahal masalah utamanya adalah formulasi hukum yang sering ditarik pada kepentingan politik dan abai terhadap kepentingan publik.
Presiden menurutnya berhadapan dengan dua kendala, yaitu eksternal berupa kepentingan partai politik, dan secara internal terkait dengan partainya sendiri yang ditimpa masalah korupsi.
Presiden juga dihadapkan pada dua tuntutan, yaitu tuntutan eksternal berupa peran serta Indonesia di dunia internasional, dan internal berupa agenda-agenda yang harus diselesaikan terkait masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Ironisnya peran internal ini terhambat atau direcoki oleh kurangnya koordinasi dan sinergitas antara lembaga negara yang seharusnya bekerja sama.
Diskusi itu sendiri digelar oleh Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi dan Dokumentasi. Diskusi di Samarinda itu merupakan bagian dari serangkaian diskusi yang digelar di beberapa daerah, untuk mendengarkan pandangan masyarakat mengenai kepemimpinan nasional maupun isu-isu di daerah mereka. Diskusi dihadiri unsur organisasi kemasyarakatan (ormas), pemuda, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan mahasiswa di Samarinda. [dem]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: