Munawir menjelaskan, zonasi merupakan strategi pengelolaan kawasan konservasi mencakup zona inti, pemanfaatan, rehabilitasi, khusus, rimba serta religi. Perubahan zonasi juga diperbolehkan untuk menyesuaikan kebutuhan, perubahan kebijakan, maupun kondisi darurat seperti bencana.
“Perubahan zona inti menjadi zona pemanfaatan ini bukan dalam konteks membuka wisata atau aktivitas ekstraktif. Ini murni mengakomodir regulasi pemanfaatan karbon di kawasan konservasi hanya diperbolehkan pada zona pemanfaatan,” kata Ahmad Munawir dikutip
Kantor Berita RMOLLampung, Jumat (12/12).
Ia menekankan, zona pemanfaatan karbon bukanlah ruang untuk penebangan, pembangunan fasilitas, ataupun aktivitas komersial.
“Sifatnya tetap perlindungan, penjagaan, dan penelitian. Satu pohon pun tidak boleh ditebang. Kalau rusak, pelan-pelan harus diperbaiki. Justru kalau ada kerusakan, kita tidak bisa memperoleh karbon,” jelas Munawir.
Ia juga menyebut, skema pemanfaatan karbon telah dilakukan di banyak negara, dan Indonesia baru mulai membuka ruang itu melalui UU 32/2024 sebagai penyempurnaan UU 5/1990.
“Sangat salah jika ada anggapan perubahan zonasi ini untuk tambang. Tambang tidak mungkin menyerap karbon,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: