Ketua Umum KPPMPI, Hendra Wiguna menyampaikan bahwa masih berlangsung praktik-praktik yang merusak laut, sehingga menyebabkan kita semua kesulitan mendapatkan pangan terutama pangan sehat.
“Mulai dari sampah hingga limbah, sampah terbanyak adalah plastik, sedang limbah bisa dari industri bahkan dari tambak udang yang tidak sesuai dengan tata cara budidaya ikan yang baik,” kata Hendra kepada RMOL, Minggu malam (4/8).
Hendra mencontohkan sepanjang pesisir Kabupaten Gresik, marak budidaya udang vaname yang begitu saja membuang limbah budidayanya ke laut.
“Sedang di laut, masih marak juga alat tangkap tidak ramah lingkungan macam trawl. Maka semakin sulit nelayan kecil untuk berusaha, padahal risiko melautnya tinggi seiring dengan adanya perubahan iklim,” jelasnya.
Teranyar, sambung Hendra, terkait dengan pencemaran, yang terjadi di Teluk Buli, Teluk Weda dan Pulau Obi di Maluku Utara. Perairannya tercemar limbah nikel, sehingga menyebabkan kerugian bagi masyarakat utamanya nelayan kecil.
“Adapun terkait dengan sampah, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020 menyatakan bahwa wilayah laut Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi. Sedang luas laut Indonesia totalnya 3,25 juta km persegi, maka bisa diperkirakan bahwa jumlah sampah di laut Nusantara secara keseluruhan sudah mencapai 5,75 juta ton,” jelasnya lagi.
“Dengan kondisi demikian, dimana laut dipenuhi limbah dan sampah. Maka sudah barang tentu sulit bagi kita bisa menemukan ikan di dekat pantai, alhasil nelayan kecil dengan armadanya yang terbatas saat ini harus melaut lebih jauh. Selain meningkatkan risiko, juga mengharuskannya bersaing dengan armada kapal yang jauh lebih besar,” beber dia.
Masih kata Hendra, maka perlu langkah segera dari pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk bersama menjaga laut. Paling tidak untuk awalan, manajemen sampah di desa pesisir harus dibenahi dan melibatkan komunitas masyarakat pesisir terutama pemuda pesisir.
“Mereka harus ikut andil dalam pengelolaannya, sehingga berkelanjutan nantinya. Pesisir ini kan muara, apa yang dilakukan di gunung hingga dataran rendah akan berdampak kepada pesisir dan laut. Maka kalau desa pesisir sudah baik manajemen persampahan, paling tidak meringankan beban kerusakan laut,” imbuhnya.
Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia mengalami kerugian yang disebabkan oleh sampah yang masuk ke lingkungan laut mencapai Rp250 triliun. Pemerintah sendiri, telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97/2017 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Kemudian Perpres Nomor 83/2018 tentang penanganan sampah di laut.
“Ada komitmen Pemerintah Indonesia untuk menangani sampah plastik di laut sebesar 70 persen sampai dengan tahun 2025, bagaimana proses sampai saat ini bisa kita lihat,” bebernya lagi.
Hendra mencontohkan di Gresik tepatnya di Desa Campurejo justru TPS (Tempat Penampungan Sampah Sementara) justru berada di tepi pantai, maka kalau sudah menggunung sampah terbawa ke laut.
“Di Campurejo TPS di tepi pantai, yang namanya laut angin pasti kenceng, sesuai lirik lagu yang dinyanyikan Jamrud (Grup Band). Soal manajemen sampah ini, terutama yang paling parah menurut kami di perkampungan nelayan perkotaan, misal di Dadap Tangerang,” ungkap Hendra
Menurutnya, persoalan sampah ini bukan karena tingkat kesadaran semata namun memang belum ada manajemen dan pelayanan yang baik dari perangkat pemerintah setempat.
“Mulai dari tidak adanya tong sampah hingga tidak adanya pengambilan sampah ke TPA. Akhirnya sampah dibuang ke laut atau dibakar, tentu keduanya berbahaya bagi kita semua, mengancam kesehatan dan ketersediaan pangan,” tegasnya.
Hendra berharap adanya pengelolaan sampah yang komprehensif di desa pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga persoalan sampah dapat terselesaikan sesuai atau paling tidak mencapai targetnya pada 2025.
“Kalau pengelolaan sampah belum bisa dilakukan di pulau-pulau kecil, mungkin KLHK bersama KKP bisa menggunakan kapal sitaan IUU Fishing sebagai alat angkut sampah. Sehingga pulau-pulau kecil tetap terjaga sumber dayanya, dan kapal sitaan dapat difungsikan,” tandas Hendra.
BERITA TERKAIT: