Pandangan itu disampaikan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Jateng Benny Karnadi dalam keterangan tertulis, Senin (19/11).
Ia menyebut, mengacu pada Pasal 73 dan 74 Perda yang lama, disebutkan bahwa luas lahan pertanian di Jateng berjumlah 990.652 hektar untuk lahan basah, dan 955.587 hektar untuk lahan kering. Artinya, luas total lahan pertanian adalah 1.946.239 hektar.
Sementara, dalam Perda baru, substansinya berubah. Pasal 74A perda yang baru menyebutkan lahan pertanian lahan kering dan/atau lahan basah hanya seluas 1.025.000 hektar. “Artinya, ada selisih luasan lahan pertanian seluas 878.239 hektar telah hilang dari substansi Perda baru,†terang Benny, seperti dilansir
Kantor Berita RMOLJateng.
Anggota Komisi D DPRD Jateng ini menambahkan, persoalan ini sudah disampaikan kepada gubernur dan DPRD Jateng saat memasukkan masalah ini dalam laporan reses. Ditambahkan Benny, dari selisih tersebut, dalam KLHS revisi RTRW Jateng, menyebutkan rencana alih fungsi lahan seluas 314.512,03 hektar dimana untuk lahan pertanian, kebun, dan ladang yang akan beralih fungsi seluas 214.385,45 hektar.
“Sedangkan ada sekitar 663.853,55 hektar merupakan cek kosong lahan yang tidak jelas peruntukannya, dan siap untuk dipergunakan oleh kabupaten/kota di Jawa Tengah,†ujar dia,
Benny juga menyoroti salah satu turunan industrialisasi yang direncanakan RTRW perubahan Jawa Tengah yakni penambahan produksi energi listrik. Dalam Pasal 27, penambahan tersebut meliputi pembangunan PLTA di 51 waduk. Alokasi pembangunan PLTU Batubara di 10 Kabupaten/Kota, alokasi PLTPB di 10 Kabupaten/Kota, dan alokasi pembangunan PLTS di dua wilayah unggulan.
“Aneh, ambisi penambahan produksi energi tersebut terjadi saat kondisi ketenagalistrikan di Jawa Tengah yang masuk region Jawa-Bali telah over capacity (surplus) sekitar 33 persen atau sekitar 8000 Mega Watt,†ujar politikus asal Kendal ini.
Terlebih lagi, ujar Benny, berkaitan dengan rencana pembangunan PLTU Batubara di sepuluh daerah di Jawa Tengah, yaitu pada daerah dimana PLTU sudah berdiri seperti Rembang, Cilacap, Jepara, maupun Batang.
Kemudian direncanakan penambahan enam lokasi baru PLTU Batubara, yakni di Demak, Kendal, Kota Semarang, Pemalang, Brebes, dan Pekalongan.
Padahal kita perlu memahami bahwa PLTU Batubara adalah pembangkit listrik dari energi dan merusak lingkungan dengan dampak pencemaran air dan udara yang berbahaya,†katanya.
Tanpa adanya penambahan PLTU baru, lanjut Benny, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 %, seharusnya Jawa-Bali hingga pada tahun 2026 akan tetap surplus listrik hingga 41 persen.
Data statistik menyebutkan, Jepara yang memiliki PLTU Batubara justru menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah se Jawa Tengah dengan rasio hanya 77,11%. Selain itu, Rembang yang juga memiliki PLTU Batubara, menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah ke-sepuluh di Jawa Tengah dengan rasio 87,46%,†katanya.
Melihat hal tersebut, FPKB mendesak untuk membatalkan 6 usulan proyek PLTU yang akan direncanakan. Ihktiar yang dilakukan oleh FPKB membuahkan pencoretan 5 proyek PLTU tambahan yang diusulkan dan hanya satu yang diterima yaitu Pemalang.
“Kami berharap agar temuan-temuan dan aspirasi dari hasil reses anggota FPKB DRPD Jawa Tengah tahun 2018 ini, dapat dijadikan sebagai pertimbangan dan ditindaklanjuti, dengan dimasukkan ke dalam RAPBD Provinsi Jawa Tengah di masa yang akan datang,†tandasnya.
[yls]
BERITA TERKAIT: