Walhi: Ibu Menteri LHK Tidak Memahami Pengoperasian PLTA

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 22 Oktober 2018, 08:45 WIB
rmol news logo Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara meminta pemerintah membuka kajian yang komprehensif terkait rencana pembangunan di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumut.

Sebab, kewenangan dan tanggung jawab terhadap perlindungan Kawasan Hutan Batang Toru sepenuhnya ada pada pemerintah.

Direktur Walhi Sumut, Dana Tarigan menyampaikan, pada prinsipnya pemerintah perlu didorong untuk terus mengembangkan energi terbarukan seperti PLTA. Namun, jika ada dampak buruk akibat pembangunan PLTA skala besar, seperti terancamnya habitat Orangutan Tapanuli, maka langkah itu harus dikritisi.

"Kami akan selalu mengkritisi. Di sisi lain, kami juga mendesak melalui pemerintah untuk mempublikasi kajian jika sudah dilakukan, sehingga masyarakat luas mengetahui dampak buruk apa yang akan terjadi jika pembangunan PLTA dilanjutkan. Apalagi lokasi pembangunan PLTA berada di patahan Sumatera atau patahan Toru/fault zone of Toru). Lokasi itu juga rawan gempa," tutur Dana Tarigan dalam rilisnya.

Dana mengingatkan, pendapat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya yang menyatakan Orangutan tidak terganggu pembangunan PLTA Batang Toru, itu menunjukkan pemerintah tidak memiliki kajian yang komprehensif.

"Ibu Menteri LHK tidak memahami proses pembangunan dan pengoperasian proyek PLTA Batangtoru dan juga tidak belajar dari track record konservasi hutan dan SDA di Indonesia yang sangat buruk. Anehnya, pernyataan Ibu Menteri LHK itu seolah mewakili kepentingan dari pihak perusahaan PT NSHE," kritik Dana.

Oleh karena itu, menurut dia, ada beberapa hal penting yang harus diketahui oleh masyarakat luas terkait proses pembangunan di Kawasan Hutan Batang Toru.

Pertama, masih ada Orangutan Tapanuli yang sedang membuat sarang di sekitar lokasi pembangunan awal proyek. Hal ini bukan berarti keberadaan Orangutan Tapanuli tidak terganggu. Orangutan Tapanuli adalah salah satu kera besar yang paling langka dan keberlangsungannya terancam dengan jumlah individu kurang dari 800 ekor.

"Terancamnya habitat Orangutan Tapanuli atas pembangunan PLTA merupakan gangguan serius, jadi sangat keliru jika langsung menyimpulkan tidak terganggu," ujar Dana.

Dia melanjutkan, lokasi proyek merupakan habitat Orangutan Tapanuli yang paling kaya. Ini berarti bukan Orangutan Tapanuli yang masuk wilayah proyek, justruk proyek yang merebut habitatnya.

Wilayah areal penggunaan lain (APL) yang seharusnya sudah dialokasikan dengan status hutan lindung karena kondisi areal yang sangat terjal, tanah peka terhadap erosi, curah hujan yang tinggi.

Jika dilihat dari analisis kerentanan wilayah dan bahaya, maka kalau dilakukan pembukaan areal akan memberi skor >175 mengikuti peraturan kehutanan SK 837.

Dia pun mempertanyakan sikap pemerintah yang selalu mengatakan bahwa areal yang diperuntukan menjadi PLTA berada di status kawasan APL.

"Apakah pemerintah bisa menjamin bahwa orangutan paham tentang status kawasan hutan, kemudian tidak melintasi atau hidup di areal tersebut?" tanyanya.

"Kedua, Bagaimana Ibu Menteri Siti Nurbaya dapat menyimpulkan bahwa keberadaan Orangutan Tapanuli tidak terancam?" sambungnya.

Dana menjelaskan, saat ini sedang dibangun jalan inspeksi di lahan terjal dan peka erosi di sepanjang 20 kilometer ke dalam habitat Orangutan Tapanuli.

Sepanjang jalan akan digali delapan lubang untuk membuat terowongan air (berteknologi canggih). Terowongan akan dibuat dengan ledakan dinamit dan limbah galian (diperkirakan mendekati 8 juta m3 limbah) akan diangkut melalui jalan inspeksi dan dibuang pada spoil bank di dalam hutan habitat Orangutan Tapanuli.

"Maka selama beberapa tahun mendatang, jalan sepanjang 20 km di tengah habitat Orangutan Tapanuli akan ramai dengan ledakan, lalu lintas alat berat, dan pembuangan limbah yang juga berdampak buruk pada masyarakat di pinggiran sungai," terangnya.

Dana menambahkan, Menteri Siti mungkin tidak akan terganggu apabila ada alat berat yang bekerja di sekitar rumahnya selama beberapa tahun. Tetapi, Orangutan Tapanuli yang selama ini tidak banyak mengetahui kegiatan manusia, pasti akan terganggu. Selain itu, akan dibangun jalur transmisi listrik yang akan membelah habitat Orangutan Tapanuli sepanjang 14 kilometer.

Menurut Dana, ada hal lain yang masih mengulangi beberapa hal yang tidak benar. Hal-hal yang tidak relevan, seperti luas waduk yang dianggap kecil akan tetapi jalan dan jalur transmisi tidak disebutkan.

"Kemudian terkait dengan jalan dan jalur transmisi yang akan membelah blok bagian barat Hutan Batang Toru juga tidak disebutkan,” ujarnya.

Pengalaman pahit menunjukkan bahwa tidak pernah ada sejarahnya pembuatan jalan di dalam hutan yang tidak berakibat pada perambahan, penebangan dan pemburuan satwa di kawasan hutan di Indonesia.

“Semua janji akan melindungi setiap akses merupakan janji kosong. Begitu juga halnya dengan pendapat bahwa keberadaan PLTA pasti akan melindungi hutan serta mampu menjaga siklus air adalah salah. Tidak akan ada pengaruh terhadap debit air yang masuk dari hulu ke waduk di kawasan hutan tersebut," tutur Dana.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA