Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Rumah Bahari, Azhar. Hal itu dikatakan Azhar, berdasarkan pengalamannya saat mendampingi para nelayan korban penangkapan pihak Malaysia atas tudingan melanggar batas perairan dan juga atas pengakuan dari pihak keluarga dari nelayan yang kini ditahan di Penang Malaysia.
Azhar menuturkan, Rumah Bahari yang kini melakukan pendampingan terhadap para keluarga dari nelayan tersebut mendapat informasi bahwa para nelayan tersebut berangkat melaut pada Sabtu (22/9) lalu. Kemudian mereka ditangkap Selasa (26/9) lalu oleh pihak Malaysia.
"Hal ini diketahui setelah seorang nelayan bernama M Barlin berkomunikasi dengan mengunakan HP dengan nomor Malaysia memberi kabar kepada istrinya Siti Fatimah. Di situ dijelaskannya kronologis penangkapannya dan mereka mengaku saat itu masih ada di perairan Indonesia," katanya, dilansir RMOLSumut, Kamis (27/9).
Dalam pendampingannya, lanjut Azhar, Rumah Bahari akan melayangkan surat protes kepada Malaysia melalui Kementerian Luar Negeri dan juga melalui Badan Keamanan Laut Indonesia serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Protes ini menurutnya penting mengingat dua negara sudah menyepakati perjanjian untuk tidak menindak nelayan yang masuk dalam zona abu-abu yang belum disepakati tapal batasnya.
"Para nelayan ini memiliki GPS dan mengaku masih di wilayah perairan Indonesia, kok tiba-tiba ditangkap. Ini pelanggaran terhadap perjanjian yang ada. Memang kebiasaan mereka, kapal-kapal nelayan kita yang kecil yang masuk wilayah abu-abu sering mereka tarik hingga ke wilayah mereka dan kemudian di sana ditangkap," ungkapnya.
Sebelumnya 5 orang nelayan asal Langkat ditangkap polisi diraja Malaysia dengan tuduhan melanggar batas perairan. Kelima nelayan tersebut yakni Abd Rahman Ritonga (37), Alfan (43), M Barlin (39), Danu Dirja (30) dan Zulkifli (54).
[lov]
BERITA TERKAIT: