Disebutkannya, UU tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (LAJ) tidak hanya dibebankan kepada Kementerian Perhubungan, banyak lembaga yang terlibat di dalamnya.
"UU LAJ menyangkut multistakeholder dan terkait satu sama lain. Diantaranya Kemristekdikti, KemenPUPR, Korlantas Polri, lembaga pendidikan, Kemenperin, Kementerian Perdagangan dan kementerian serta instansi lainnya," kata Marcus dalam keterangannya, Sabtu (26/5).
Marcus yang pernah terlibat dalam perumusan UU LAJ menyampaikan betapa rumitnya saat perumusan UU 22/2009 tersebut.
Oleh sebab itu, melihat fenomena angkutan daring saat ini, kebutuhan transformasi konstruksi hubungan hukum dalam angkutan umum daring, negara harus hadir mengayomi dan melayani.
"Jangan sampai membuat regulasi tapi malah memakan korban. Dalam konteks korban, kita tidak bisa bicara besar kecil angka. Untuk itu negara harus hadir mengayomi, melayani," ujar Marcus.
Dia menegaskan teknologi bermanfaat jika digunakan dengan tepat, dan tidak ada yang mengatakan transportasi online tidak ada manfaatnya ataupun merugikan.
Namun hanya saja, fenomena transportasi online perlu dipikirkan bersama-sama. Tetapi untuk motor atau roda dua tetap sejak awal tidak pernah ditempatkan sebagai transportasi umum. Jika nanti pemerintah menyebut pengadaan transportasi umum, driver online roda dua jangan pernah menyalahkan pemerintah.
"Fenomena angkutan daring ini harus segera diatur dengan kebijakan sendiri, bukan dengan mengubah UU yang ada. Sebab fenomena angkutan daring memiliki banyak ekses di antaranya aspek ketenagakerjaan, aspek keselamatan dan aspek TI. Negara harus segera hadir," demikian Marcus.
[rus]