Menurut Erzaldi, masyarakat Babel saat ini hampir tidak bisa lepas dari pertimahan. Buktinya, ketika ada perubahan aturan ekspor timah yang membuat para smelter tidak bisa melakukan ekspor selama tiga bulan, pertumbuhan ekonomi di Babel langsung turun drastis dari 5,3 persen ke 2,6 persen.
Dia menginginkan agar transformasi masyarakat tetap dilakukan, dari penambang ke sektor yang lain seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan pariwisata.
"Tapi bukan berarti kita langsung mencabut atau keluar dari penambangan. Sedikit demi sedikit lah. Kalau langsung, bisa kolaps kita. Kontribusi tambang timah pada PAD Babel saat ini cukup tinggi, yakni 20 persen dari Rp 2,9 triliun. Kalau distop, berapa APBD kita nantinya?" ujar Erzaldi belum lama ini di Pangkalpinang.
Erzaldi juga mengatakan, sudah waktunya pengusaha tambang timah di Babel menggunakan teknologi ramah lingkungan. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bisa diminimalisasi.
"Kerusakan lingkungan memang lebih banyak disebabkan oleh tambang ilegal. Kalau yang legal, itu bagus, malah memerhatikan dampak lingkungan. Untuk masyarakat, kamu boleh menambang, tapi menambanglah di tempat yang benar, dengan cara yang benar," katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Bangka Belitung Didit Srigusjaya membenarkan pernyataan Gubernur Erzaldi terkait jumlah PAD terbesar di Babel saat ini berasal dari tambang timah. Hanya saja, ia tidak bisa memperkirakan sampai kapan hal tersebut berlangsung.
"’Apa yang disampaikan gubernur, ada benarnya juga. Kalau langsung
cut, ini akan mengganggu kondisi perekonomian Babel," kata Didit.
Jika akan di-takeover ke sektor lain, lanjut Didit, harus dilakukan secara perlahan, serta tersusun dengan baik dan jelas.
"Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka, saat ini kondisi ekonomi Bangka Belitung memang masih didominasi oleh sektor pertambangan," demikian Didit.
[rus]