DUA setengah tahun lalu, tepatnya bulan Juni 2015, saya
dan beberapa aktifis memberikan garansi untuk tahanan luar bagi 2
tersangka pedagang di tahanan Polda Metro Jaya, atas permintaan ketua
umum APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima).
Dua
tersangka, yang satu Padang dan satu lagi Madura, berusaha menyerobot
masuk ke Monas untuk berdagang. Dua orang ini bersama ratusan massa
lainnya bentrok dengan satpol PP.
Rezim
yang berkuasa saat itu membatasi pedagang hanya pada lapak yang sudah
di tata. Tito Karnavian sebagai Kapolda Metro saat itu menuduh kedua
mereka dan seorang ibu hamil sebagai provokator. Intinya Gubernur DKI
saat itu, Ahok, sebagai penguasa ibukota, seringkali mengobrak abrik
pedagang kaki lima dan menjadikan kaki lima sebagai "musuh". Ahok
menyebut antara Pemerintah Daerah vs. PKL adalah seperti "Tom and
Jerry".
Saat ini kita
dikejutkan dengan cara pandang baru dari Gubernur/Wakil baru Anies Sandi
terhadap PKL. Bukannya mengusir dan menertibkan PKL, malah keduanya
memanjakan Pkl dengan memberikan lahan usaha. Lahan ini diambil dari
jalan yang di blok selama 10 jam sehari. Di mana? Di Tanah Abang, pusat
tekstil terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Persoalan
akses pada lahan untuk berdagang merupakan problem pokok PKL. Mereka
umumnya tidak terlalu mengkhawatirkan modal kerja seperti kebanyakan
pelaku usaha lainnya. Hal ini mungkin disebabkan adanya jejaring sosial
yang memungkinkan mereka memiliki akses pada supply barang. Untuk
mendapatkan akses tempat usaha, bagi PKL adalah barang mahal. Mahal
dalam pengertian sesungguhnya jika menyewa atau memiliki, maupun mahal
dalam pengertian sulitnya mendapatkan tempat usaha.
Dengan demikian, Anies berusaha masuk ke jantung persoalan yang selama ini menghantui PKL.
PKL dan Struktur Sosial Kita
PKL
adalah bagian dari UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang berskala
mikro maupun kecil dan bersifat informal. Skala ini merujuk pada jumlah
asset dan omset serat pekerja yang terlibat, yang sangat kecil.
Sedangkan pengertian informal karena umumnya tidak memiliki badan hukum
dan NPWP.
Dalam struktur
perekonomian nasional, peranan UMKM sebenarnya sangat besar, mencakup
kontribusi 57% terhadap GDP, dengan pelaku UMKM 56.539.560 unit dan
menyerap 97% tenaga kerja. (LPPI, 2015). Hal ini berdasarkan data
statistik yang tersedia, yakni tahun 2012 dan 2013. Kecenderungan jumlah
UMKM dan peranannya dalam menyerap lapangan kerja terus meningkat paska
krisis 1998.
Struktur
sedemikian di atas dan kecenderungannya untuk demikian, yakni sedikitnya
jumlah usaha besar formal (+/- 5000 unit) dan puluhan ribu unit usaha
menengah formal, menunjukkan struktur perekonomian dengan struktur dunia
usaha yang rapuh dan tidak sehat.
Pertama,
besarnya jumlah unit usaha mikro dan kecil memperlihatkan adanya
perangkap usaha, di mana mereka ini hanyalah sekedar usaha bertahan
hidup.
Kedua, adanya
indikasi kuat atas ketidak adilan sosial dalam mengalokasikan akses dan
aset bangsa untuk memajukan pelaku ekonomi.
Ketiga, adanya fungsi PKL untuk menyediakan barang murah bagi konsumen miskin kota.
Dalam
fungsi bertahan hidup, usaha kecil dan informal ini kita pahami sebagai
fakta bahwa usaha menengah, besar dan formal sudah tidak mampu lagi
menyediakan lapangan kerja yang baik. Dalam situasi ini, "self
employement" melalui usaha mandiri merupakan jalan pintas bagi
kebanyakan orang. Fakta ini juga menceritakan pada kita bahwa kebanyakan
rakyat mencari sendiri pekerjaannya, meski konstitusi mewajibkan negara
meberikan pekerjaan yang layak buat setiap rakyatnya.
Dalam
hal ketidak adilan sosial, khususnya bagi PKL dan sektor perkotaan,
kita melihat bahwa kota berkembang terus memanjakan orang orang kaya dan
unit usaha menengah dan besar, alias pemilik uang. Struktur lahan dan
tempat usaha serta pembiayaan kredit di Jakarta saat ini terus dibangun
untuk sektor formal dan besar.
Meskipun
data sudah menunjukkan adanya "over supply" pada sisi itu. Data
menunjukkan di Jakarta dari 4 juta m2 ruang usaha Mal, 600.000 m2 saat
ini tidak digunakan. Dari 5 juta m2 ruang kantor, 1 juta m2 tidak
digunakan. Sebaliknya, ratusan ribu pedagang kecil berusaha mengakses
tempat usaha.
Selanjutnya,
PKL juga telah "mensubsidi" kaum miskin kota dengan menyediakan barang2
murah, yang tak mampu dibeli kaum miskin kota di toko toko formal.
PKL, Mindset dan Arsitektur Kota
Arsitek
perkotaan dan penguasa kota melihat PKL dalam dua perspektif, pertama
sebagai musuh yang harus ditertibkan dan kedua, sebagai pelaku usaha
yang harus dibina.
Dalam perspektif pertama, PKL
haruslah di posisikan dipinggirkan dan tidak terintegrasi dengan
kemajuan kota. Kota akan menjadi kusam, kumuh dan tidak tertib jika PKL
ada di dalamnya.
Perspektif
lainnya adalah mengintegrasikan PKL dalam wajah kota yang dibangun. Hal
mana dilakukan dalam range manifestasi tanggung jawab penguasa kota
atas nasib rakyatnya hingga upaya menjadikan PKL sebagai bagian dari
"creative city" yang menarik buat kehidupan kota, baik buat penduduk
lokal maupun turis.
Pilihan
kebijakan dan pendekatannya yang diambil sangat berbeda untuk
perspektif yang berbeda. Penguasa yang ditopang kaum kapitalis,
pengembang besar dan cukong cukong kaya pasti memilih perspektif pertama
di atas. Namun, di luar itu pemahaman (Mindset) seorang pemimpin kota
terkait hubungannya dengan rakyat kecil juga sangat berpengaruh. Bagi
pemimpin yang memuliakan rakyat tentu akan berusaha memiliki perspektif
kedua. Pendekatan dalam perspektif kedua menempatkan rakyat sebagai
subjek pembangunan, bukan sekedar objek.
PKL, Jokowi dan Anies
Pendekatan
humanistik Anies terhadap PKL sekilas sama dengan Jokowi. Jokowi,
sebagai anggota dan pengurus APKLI dulunya, sudah pernah membuktikan
keinginannya memajukan PKL di Solo dan Jakarta. Di Solo, Jokowi berhasil
menata kawasan PKL dan memindahkan PKL dengan penuh keberpihakan. Hal
serupa ingin dilakukan Jokowi di pasar Tanah Abang, ketika menjadi
Gubernur, dengan memindahkan PKL dari Trotoar ke Blok G. Sayang,
pemindahan ke Blok G ini dianggap kurang berhasil, karena tempatnya yang
kurang pengunjung.
Heri
Destrianto, dalam studinya selama 4 bulan untuk menyusun skripsi
"Analisa Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Di Blok G Pasar Tanah Abang
Jakarta Pusat (Periode 2013-2014)", di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan manajemen Institut Pertanian Bogor, 2014, menunjukkan
berkurangnya inkom pedagang sebesar 99%.
Sebelum dipindahkan ke blok G, rata rata penghasilan mereka rp 7.112.500, setelah di Blok G hanya rp. 51.656.
Tapi, tetap saja Jokowi perlu diapresiasi karena visi dan orientasinya terhadap PKL bersifat positif.
Lalu bagaimana Anies Sandi?
Apa
yang dilakukan Anies di Tanah Abang adalah pikiran revolusioner.
Pikiran ini merupakan kontra terhadap situasi di mana kaum pedagang
kecil merangkak2 mencari akses tempat usaha vs. situasi over supply
ruang usaha buat kaum kapitalis kaya.
Upaya
menambah ruang (space) bagi ratusan ribu PKL di Jakarta adalah rintisan
baru yang tentunya menuntut kerja keras. Kerja keras pertama adalah
bagaimana mengeluarkan kebijakan yang mengatur keseimbangan ruang usaha
bagi orang orang miskin kota vs kapitalis.
Kerja
keras kedua adalah bagaimana mengintegrasikan PKL dalam arsitektur
perkotaan. Sehingga PKL tidak mengganggu keindahan kota, bahkan PKL bisa
menjadi objek wisata. Kerja keras ke tiga adalah bagaimana mendorong
PKL sebagai "stepping stone" untuk mencetak wirausahan2 yang hebat ke
depan.
Kita perlu
mengapresiasi langkah Gubernur Jakarta ini. Ini adalah sebuah model
baru, yang mungkin dapat dikembangkan di banyak kawasan Jakarta, maupun
kota besar lainnya. Semoga berhasil. [***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle dan Stafsus Menteri Koperasi UMKM 1998/99)