Dalam momentum Hari Anak Nasional, Aliansi PKTA mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk memperhatiÂkan dan menghentikan secara seÂrius praktek-praktek penghukuÂman fisik pada anak yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Ketua Presidium Aliansi PKTA, Zubedy Koteng menyebutkan, hukuman fisik bagi anak-anak harus dihentikan. Alasannya, anak merupakan kelompok yang paling rentan mendapatkan hukuman dari orang dewasa baik itu orang tua, guru, di mana kekerasan tersebut dilegitimasi untuk memperbaiki/ mengubah perilaku anak yang melakukan kesalahan.
Zubedy mengatakan, Aliansi PKTA melihat di masyarakat masih terjadi praktek corporal punishment atau hukuman fisik ditujukan pada badan, baik parental corporate punishment, yang merupakan kekerasan daÂlam lingkup keluarga maupun school corporal punishment, atau hukuman badan-hukuman fisik di sekolah.
"Ini karena ada anggapan bahwa hukuman fisik dianggap sebagai praktek yang diperluÂkan, benar dan wajar. Bahkan ada anggapan bahwa melakukan kekerasan fisik kepada anak dianggap sebagai salah satu metode pendidikan yang baik," katanya.
Kata Zubedy, corporal punishÂment didefinisikan oleh Komite Konvensi Hak-hak Anak sebagai hukuman yang menggunakan kekuatan fisik dan bertujuan unÂtuk menimbulkan rasa sakit atau ketidaknyamanan, meskipun rinÂgan. Sebagian besar melibatkan pukulan fisik baik dengan tanÂgan atau dengan alat perantara berupa cambuk, tongkat, sabuk, atau sepatu.
Dalam pandangan Komite Konvensi Hak-hak Anak, samÂbung Zubedy, hukuman fisik selalu merendahkan martabat manusia. Selain ini, hak anak atas akses ke pendidikan harus disediakan tanpa menyampingÂkan martabat anak, dan tidak membatasi anak untuk secara bebas mengekspresikan panÂdangannya, dan tidak menghaÂlangi anak untuk berpartisipasi di dalam aktivitas belajar-menÂgajar.
Karena itu, pendidikan juga harus diberikan kepada anak dengan cara yang mematuhi batasan-batasan ketat dalam disiplin pendidikan, seperti yang dipaparkan dalam pasal 28 ayat 2 Konvensi Hak-hak Anak.
"Praktek hukuman fisik terseÂbut sebetulnya telah dilarang dalam peraturan di Indonesia," ungkapnya.
Berdasarkan Pasal 9 ayat 1a UU Perlindungan Anak dinyatakan, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidiÂkan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
Selain itu, sambung dia, pada Pasal 54 ayat 1 dinyatakan, anak di dalam dan di lingkunÂgan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
"Sekolah bisa bebas dari kekerasan jika anak-anak, guru, orangtua dan masyarakat terlibat dalam memahami pentingnya disiplin positif," tandas Zubedy. ***
BERITA TERKAIT: