Demikian penilaian pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Demokrasi (Sigma), Said Salahuddin, Sabtu (29/1).
Menurutnya, penambahan durasi debat, moderator yang sedikit lebih luwes, serta kemeriahan acara yang ditunjukan oleh para pendukung paslon menjadi sedikit contoh dari adanya peningkatan acara debat dilihat dari sisi teknis penyelenggaraannya.
Sayangnya, lanjut Said, dari sisi pengaturan debat KPU DKI dirasa masih kurang mampu merumuskan aturan main debat yang lebih memadai.
Hal ini terlihat dari tata tertib (tatib) debat yang hanya memuat empat poin aturan yang tidak cukup tegas untuk memagari atau mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan muncul dari para paslon.
Sebagai contoh, pada segmen keempat, paslon nomor 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno Salahuddin (Anies-Sandi) diberikan kesempatan untuk bertanya kepada paslon nomor 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylvy).
Jelas Said, alih-alih menanyakan visi, misi, dan program dari paslon 1, Sandi justru meminta pendapat Sylvi mengenai reformasi birokrasi dan kepemimpinan yang dijalankan oleh paslon nomor 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot).
"Dari fragmen yang tidak terduga itu Sandi bisa saja disebut licik, tetapi bisa juga disebut cerdik. Pertanyaannya, apakah taktik bertanya ala Sandi itu menyalahi aturan debat? Disinilah masalahnya," kata Said.
Dalam tatib debat, sambung Said, memang tidak ditegaskan adanya larangan soal itu.
"Pada poin empat tatib, misalnya, hanya disebutkan 'pertanyaan antarkandidat mempertanyakan program, visi, dan misi kandidat lainnya'. Karena ada tiga kandidat, maka tafsir atas aturan itu menjadi debatable," tukasnya.
[rus]
BERITA TERKAIT: