Ketua Tim Katastrofi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja mencontohkan, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004. Pemerintah begitu kelabakan ketika masyarakat meminta data administrasi kepemilikan aset privat mereka.
Menurut dia, salah satu langkah yang harus ditindaklanjuti adalah membuat tata ruang baik yang dilengkapi sistem pengkodean serta penyimpanan data yang mudah diakses. Tidak hanya itu, pembangunan pengamanan ini harus melihat kondisi daerah tersebut rawan gempa dan tsunami.
"Sehingga saat terjadi bencana semua data negara dan privat menjadi aman, ini juga harus dilengkapi dengan kordinat yang jelas," lanjut Danny saat berbicara dalam diskusi "Penyelamatan Data Strategis Negara dan Privat" di Gedung Krida Bakti, Setneg, Jakarta, (Kamis, 27/2).
Danny yang juga Ketua Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang menambahkan, kata kunci dari bencana sendiri adalah ketidakpastian.
"Bencana bisa datang kapan saja, tinggal sejauh mana kita mengantisipasi dan mempunyai kesiapan saat bencana datang," jelasnya.
Senada dengan Danny, Wakil Gubernur Banten, Rano Karno memandang, tindakan awal dalam penyelamatan data negara dan privat masyarakat saat terjadi bencana masih membingungkan. Permasalahan ini bukan hanya terjadi di tingkat masyarakat tapi hingga pemerintah daerah.
"Masyarakat masih belum menyadari dan memahami penyimpanan data privat yang mereka miliki. Padahal ini mengenai penyelamatan aset mereka saat terjadi bencana," ujar Rano.
Belum sempurnanya sistem pengamanan data membuat beban Pemda semakin berat. Pemda belum siap menangani data aset negara namun tetap harus bertanggung jawab terhadap data privat milik masyarakat.
"Yang paling dimungkinkan saat ini membenahi tata ruang, membuat zonasi dan pengkodean yang jelas. Saat bencana datang semua data baik aset negara maupun privat bisa diamankan," pungkas Rano.
[wid]
BERITA TERKAIT: