"Ketentuan hukum tersebut agar tetap dipatuhi dan jangan lagi dilanggar, karena ini tujuannya tidak lain untuk menyadarkan masyarakat menghindari perbuatan yang tercela dan sangat memalukan itu," katanya di Medan, Minggu (31/3).
Perbuatan kumpul kebo itu, menurut dia, bukan hanya dilarang oleh UU, melainkan juga ketentuan dalam ajaran agama Islam. Oleh karena itu, katanya, pelaku yang terbukti melaksanakan kumpul kebo tersebut harus diberikan sanksi hukum yang tegas, sehingga dapat membuat efek jera dan tidak mengulangi lagi perbuatan melanggar hukum.
"Perbuatan kumpul kebo itu, juga meresahkan masyarakat, dan harus dilarang dan tidak dibenarkan tinggal di suatu daerah," ujarnya.
Abdullah Syah mengatakan, pihaknya juga sependapat dan mendukung bahwa kumpul kebo masuk dalam Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mempidanakan para pelakunya. Sebab selama ini, jelasnya, perbuatan kumpul kebo tidak diatur dalam Ketentuan UU tersebut, lain dengan zina yang masuk dalam peraturan KUHP. Dengan adanya sanksi hukum yang berat bagi pelaku kumpul kebo itu, maka diharapkan tidak akan ada lagi masyarakat yang mau hidup serumah, tanpa menikah dan diatur dalam UU Perkawinan.
Lebih lanjut Abdullah Syah mengatakan, pemerintah maupun masyarakat diharapkan juga ikut bertanggung jawab untuk menyadarkan para pelaku yang sering kumpul kebo, ini adalah pergaulan bebas yang dilarang, praktik seksual yang menyimpang, perbuatan zina yang bertentangan dalam ajaran agama Islam.
"Kalau kedua pasangan tersebut sudah memang benar-benar saling mencintai, tidak perlu kumpul kebo dan langsung saja menikah sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan," katanya.
Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 485 Rancangan KUHP.Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda Rp 30 juta. Hukuman ini bersifat alternatif, yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda.
[ant/wid]
BERITA TERKAIT: