Ribuan warga kawasan Gunung Merapi mengikuti upacara tradisional labuhan kepala kerbau menyambut 1 Sura di Joglo Merapi Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis dini hari (15/11).
Kegiatan ritual labuhan kepala kerbau yang dilakukan setiap tahun pada malam hingga dini hari di awal tahun Hijriah atau 1 Muharram tersebut, sudah menjadi keyakinan warga di kawasan itu untuk memohon perlindungan dari segala penyakit dan bencana yang timbul dari dampak Gunung Merapi.
Prosesi upacara tradisional labuhan kepala kerbau diawali dengan menyediakan satu kepala kerbau yang dibalut kain mori, dan sesaji tumpeng gunung dari nasi jagung yang dibuat dengan bentuk menyerupai gunung atau berupa gunungan, yang diarak keliling kampung oleh puluhan warga menuju Joglo Merapi.
Setelah kepala kerbau dan sesaji tumpeng gunung itu tiba di Joglo Merapi, dipanjatkan doa bersama-sama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar warga kawasan Merapi diberi perlindungan dari bencana maupun wabah penyakit, dan hasil pertanian yang melimpah.
Kepala kerbau sebagai sesaji, setelah dilakukan doa bersama kemudian dibawa dengan dipikul oleh sejumlah warga diiringi barisan pembawa penerangan obor menuju ke puncak Merapi, sekitar pukul 00.30 WIB.
Menurut Widodo seorang toko masyarakat desa setempat, kepala kerbau tersebut sebagai sesaji untuk dilabuhkan ke puncak Gunung Merapi atau tepatnya di lokasi Pasar Bubrah sejauh sekitar empat kilometer dari Joglo Merapi ini.
Upacara tradisi labuh kerbau dan sedekah gunung, kata dia, sudah dilakukan turun temurun sejak zamannya sinuwun ke-VI Kraton Surakarta, sehingga ada ribuan pengunjung yang memadati Joglo Merapi.
Ribuan masyarakat sangat antusias mengikuti hingga upacara selesai, setelah kepala kerbau dilabuh. Gunungan berupa nasi jagung dan lauk pauknya kemudian untuk diperebutkan oleh masyarakat.
"Saya ikut berebut gunungan itu, dan mendapat nasi jagung sebagai berkah pada malam 1 Sura ini," kata Suwarno (45) warga Lencoh.
Wakil Bupati Agus Purmanto pada kesempatan itu, mengatakan, kegiatan upacara tradisi kearifkan lokal lereng Merapi dulu ada sejarahnya pada zamannya pemerintahan Sinuwun ke-VI atau Paku Buwono VI Raja Kraton Kasunanan Surakarta.
Menurut Agus Purmanto, warga di lereng Merapi ini dulunya terkena "pagebluk" atau wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa, kemudian dilakukan ritual oleh para tokoh masyarakat mencari petunjuk agar dijauhkan dari malapetaka.
"Sinuwun ke VI pada zaman itu, memerintahkan untuk memberikan sesaji labuh kepala kerbau ke puncak Merapi dan hingga sekarang tetap dilestarikan kearifan lokal itu yang dikemas melalui pariwisata," kata Wabup.
Menurut dia, sejarahnya dulu masyarakat di lereng Merapi yang mendapatkan wabah penyakit sudah hilang, kemudian mereka melakukan upacara sedekah gunung yang artinya sebagai tanda syukur sudah dijauhkan dari wabah dan dilimpahkan hasil panen yang melimpah atau kesejahteraan.
Sedekah gunung yang berupa gunungan tersebut, kata Wabup, antara lain berupa hasil panen para petani Merapi seperti nasi jagung, sayuran, dan buah-buahan.
Menurut Wabup, upacara ritual tersebut merupakan tradisi atau kepercayaan warga lereng Merapi yang tidak dapat ditinggalkan setiap memasuki bulan Sura kalender Jawa.
Namun, kata Wabup, upacara tardisi tersebut yang dulunya dilakukan dengan semua pengunjung mengenakan pakaian adat jawa, tetapi sekarang dinilai sudah mulai luntur.
Kendati demikian, wabup mengimbau agar masyarakat lereng Merapi tetap menjaga dan melestarikan tradisi tersebut sebagai kearifan lokal yang dapat menarik perhatian wisatawan baik lokal maupun dari mancanegara.
Sementara upacara tradisi labuh kepala kerbau juga sebelumnya dimeriahkan sejumlah seni tari budaya lokal seperti tari keprajuritan dan campur sari. [ant/zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: