Hal tersebut disampaikan oleh Konsultan Aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, Dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, pada Senin (25/3).
Padahal, kata Sunu, penyakit jantung merupakan penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia dan Asia Tenggara, setelah stroke, dengan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya.
“Sayangnya bantuan pencegahan henti jantung masih sangat kurang. Meski kami telah melakukan audiensi dengan pemerintah,” ungkap Sunu saat ditemui awak media di Jakarta.
Menurut penjelasannya, saat ini banyak pasien jantung berisiko tinggi yang harus dipasang alat kardiak defibrilator implan (ICD) yang digunakan untuk kembali menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal.
Namun sayangnya banyak dari mereka yang terhalang oleh biaya, dan tidak bisa menggunakan alat tersebut.
“Sebenarnya yang memiliki hak untuk dipasang alat (ICD) banyak sekali, tapi karena cover (asuransinya) yang minim membuat pasien tidak melakukan pemasangan alat yang berkisar lebih dari Rp150 juta,” ungkapnya.
Ia pun berharap pemerintah dan pihak asuransi seperti BPJS Kesehatan dapat segera memperhatikan orang-orang yang memiliki penyakit jantung, yang berhak mendapatkan pemasangan alat ICD ini.
BERITA TERKAIT: