Endang Kusumawaty Minta Perlindungan Tim Reformasi Polri, Alami Kriminalisasi Berulang Kali

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widodo-bogiarto-1'>WIDODO BOGIARTO</a>
LAPORAN: WIDODO BOGIARTO
  • Senin, 08 Desember 2025, 01:09 WIB
Endang Kusumawaty Minta Perlindungan Tim Reformasi Polri, Alami Kriminalisasi Berulang Kali
Ilustrasi keadilan hukum. (Foto: depositphotos.com)
rmol news logo Penasihat hukum Endang Kusumawaty melayangkan pengaduan sekaligus permohonan perlindungan hukum kepada Tim Reformasi Kepolisian. Mereka menyebut kliennya menjadi korban kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan secara berulang.

Pengaduan disampaikan melalui surat tertulis tanggal 4 Desember 2025, dibuat tim hukum Ronny Perdana Manullang dan Rifmi Ramdhani. Saat ini, Endang menjalani penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.

"Bahwa klien kami diduga terus mendapatkan intimidasi-intimidasi oleh Sdr. Stelly Gandawidjaja dan diduga dengan cara melalui oknum-oknum anggota Polri atau penjabat-pejabat yang tidak benar," demikian petikan surat pengaduan Endang Kusumawaty dikutip redaksi, Minggu, 7 Desember 2025.

Endang diketahui merupakan istri dari Irfan Suryanegara, mantan Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat. Kasus bermula dari laporan Stelly Gandawijaya atas dugaan penipuan dan penggelapan. Di tingkat Pengadilan Negeri, Irfan dan Endang sempat divonis bebas karena tidak terbukti bersalah. Namun perkara terus dipaksakan hingga tahap Peninjauan Kembali (PK) dengan putusan yang saling bertolak belakang.

Dalam Putusan PK Nomor 97, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada Irfan. Namun MA secara tegas menyatakan Irfan tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang serta memerintahkan seluruh barang bukti nomor 1 sampai dengan 146 dikembalikan kepada pihak yang berhak.

Sebaliknya, dalam Putusan PK Nomor 113, MA menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada Endang dan menyatakan ia terbukti melakukan TPPU. Barang bukti nomor 1 hingga 110 justru diperintahkan diserahkan kepada pelapor. Perbedaan amar putusan inilah yang kemudian memicu polemik baru.

Kuasa hukum menyebut jaksa telah melakukan eksekusi sebelum seluruh proses PK tuntas. Ironisnya, tujuh aset disebut sudah diserahkan kepada pelapor, padahal dalam putusan PK Irfan, MA jelas memerintahkan seluruh barang bukti dikembalikan kepada pihak yang berhak.

Pelapor kemudian melayangkan somasi agar sertifikat tanah diserahkan. Kuasa hukum menegaskan, mereka telah menjawab somasi dengan menyatakan eksekusi hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah pengadilan atau kejaksaan.

Namun pelapor kembali melaporkan Endang ke Bareskrim berdasarkan LP No. LP/B/497/X/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI tanggal 9 Oktober 2025 dan SPDP No. B/SPDP/254/XI/RES.1.11./2025/Dittipideksus tanggal 24 November 2025 atas dugaan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang terkait sertifikat tanah.

Tim hukum menegaskan, sertifikat tersebut masih berstatus sengketa perdata yang tengah menggulir di tingkat kasasi. Bahkan, berdasarkan amar PK Nomor 97, sertifikat tersebut seharusnya dikembalikan kepada pihak yang namanya tercantum dalam alas hak, yakni Endang Kusumawaty.

"Bahwa klien kami tidak mengerti permasalahan dan tidak pernah komunikasi langsung oleh Sdr. Stelly Gandawidjaja. Klien kami hanya seorang ibu rumah tangga," tulis mereka.

Tak hanya itu, kuasa hukum juga membongkar dugaan kejanggalan serius dalam proses penyidikan. Mulai dari penerimaan laporan yang dinilai tidak semestinya, pemanggilan pemeriksaan yang dinilai cacat prosedur, hingga penerbitan SPDP tanpa pemeriksaan lanjutan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

"Bahwa dalam laporan polisi tersebut terdapat dugaan intimidasai atau prosedur yang tidak benar. Diantaranya laporan sepatutnya tidak diterima oleh Mabes Polri karena yang berhak meminta Sertifikat adalah eksekusi/perintah pengadilan dan 
Kejaksaan sehinga ini bukan merupakan tindak pidana," tulis surat itu.

"Panggilan pemeriksaan tidak diberikan secara langsung dan kurang dari 3 (tiga) hari dari penjadwalan melanggar ketentuan Pasal 227 KUHAP. SPDP terbit tanpa panggilan pemeriksaan ke-2 atau kesempatan klien memberikan keterangan dengan didampingi pengacara," tulis mereka lagi.

Oleh karenanya untuk melindungi Endang Kusumawaty, kuasa hukum meminta Tim Reformasi Polri membentuk tim investigasi untuk mengusut dugaan pelanggaran prosedur tersebut. Mereka juga mendesak diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas laporan yang menjerat Endang.

"Bahwa dengan ini patut diduga adanya oknum yang tidak benar di tubuh Polri yang perlu kita benahi bersama guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap marwah Polri dan guna menegakan keadilan secara benar," demikian isi surat pengaduan.

Pengaduan tim hukum Endang turut ditembuskan ke Presiden, Komisi III DPR, Kapolri, Divisi Propam Polri, Kompolnas, Komnas HAM, hingga Komnas Perempuan. Langkah ini sebagai bentuk permintaan pengawasan terhadap proses hukum yang dinilai sarat kejanggalan.rmol news logo article
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA