Kedua tersangka dimaksud adalah Abdul Samad dan Samsu Hussain. Mereka dibebaskan lewat mekanisme
restorative justice di tahun 2023. Padahal, keduanya telah ditetapkan tersangka dalam kasus penggelapan dana perusahaan besar Arab Saudi yang sudah berinvestasi di Indonesia sejak tahun 2012.
"Kalau polisi melepaskan (dua tersangka WN India) dan menghentikan kasusnya tanpa sepengetahuan korban, ini konyol dan (diduga) ada penyalahgunaan wewenang. Ini sangat berbahaya bagi iklim investasi di Indonesia,” kata pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar kepada wartawan, Selasa, 16 Februari 2025.
Menurutnya,
restorative justice adalah mekanisme hukum menekankan pada pemulihan kerusakan yang dialami korban. Namun berdasarkan perkembangan kasusnya, korban disebut tidak menerima pengembalian kerugian yang seharusnya diterima.
“Bukan tidak mungkin kompensasi penggantian kerugian diberikan dan diambil oleh oknum yang menangani,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, pakar dari Universitas Trisakti ini mendorong Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan mengusut kasus yang telah diproses sejak tahun 2022 silam ini.
"Tidak ada salahnya juga dilaporkan Kapolri dan KPK karena ada dampaknya bagi iklim investasi secara nasional,” pungkasnya.
Abdul Samad dan Samsu Hussain sebelumnya dilaporkan oleh perusahaan asal Arab Saudi yang berinvestasi di Indonesia.
Keduanya dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan No.LP/B/5281/X/2022/SKPT tentang dugaan tindak pidana menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan atau penggelapan dalam jabatan yang melanggar Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 374 KUHP.
Mereka dilaporkan terkait perjanjian perdamaian homologasi perusahaan besar Arab Saudi sesuai putusan PKPU No.164/PDT-SUS.PKPU/2021/PN.NIAGA.JKT.PST di PN Jakarta Pusat. Kedua tersangka disebut telah membuat perusahaan merugi hingga 62 juta Dolar AS.
Namun dalam proses hukumnya, kedua tersangka dibebaskan melalui mekanisme perdamaian
restorative justice di tahun 2023.
BERITA TERKAIT: