Syamsul Maarif dkk adalah majelis hakim yang menangani perkara No. 1362/PDT/2024.
Alih-alih mengundurkan diri, karena sebelumnya pernah mengadili perkara terkait, Syamsul Maarif dkk malahan nekat memutus perkara pada 16 Desember 2024, hanya dalam rentang waktu 29 hari.
”Padahal tebal berkas perkara mencapai tiga meter dan termuat dalam lima koper. Tidak mungkin dapat dibaca dalam tempo secepat itu oleh tiga hakim agung,” kata Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, kepada awak media di Jakarta, Jumat 27 Desember 2024.
Karena itu, lanjut Jerry Massie, demi integritas yang kuat dan peradilan bermartabat, seperti tema Refleksi Akhir Tahun MA ”Integritas Kuat, Peradilan Bermartabat”, Ketua MA diminta untuk menyatakan putusan tersebut tidak sah dan batal demi hukum, berdasarkan pasal 17 ayat (6) UU No. 48 Tahun 2009.
Sekaligus, memerintahkan Badan Pengawasan (Bawas) MA untuk bekerja sama dengan KPK memeriksa adanya dugaan suap di balik putusan tersebut.
”Tidak mungkin ada hakim mau membunuh kariernya sendiri, kalau tidak ada dugaan suap. Refleksi Akhir Tahun 2024 harus menjadi momentum bagi lembaga MA untuk membuktikan kemauan politiknya dalam membasmi mafia peradilan,” tegas Jerry.
Adapun komposisi majelis hakim agung yang menangani Perkara No. 1362 PK/PDT/2024 adalah Ketua Majelis Syamsul Maarif dengan Anggota I Lucas Prakoso dan Anggota II Agus Subroto.
Syamsul Maarif dipersoalkan karena pernah menangani perkara terkait. Di mana Syamsul menjadi Ketua Majelis Perkara No. 697 PK/2022 jo No. 63/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst dan Ketua Majelis Perkara No. 887PK/2022 jo No. 373/Pdt.G.2010/PN.Jkt.Pst.
Sedangkan Lucas Prakoso pernah menangani perkara terkait sebagai Anggota Majelis Perkara No. 667 PK/2022 jo No. 63/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst dan Anggota Majelis Perkara No. 887 PK/2022 jo No. 373/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
Hal itu berbanding terbalik dengan integritas luar biasa yang ditunjukkan dua hakim agung lainnya, I Gusti Agung Sumanatha dan Hamdi, yang mengundurkan diri karena pernah menangani perkara terkait sebelumnya.
Berdasarkan penelitian P3S, Perkara No. 1362 PK/PDT/2024 adalah perkara yang terkait dengan perkara sebelumnya. Menurut Jerry, ini merupakan gugatan akal-akalan PT Garuda Panca Artha milik Gunawan Yusuf, yakni perkara-perkara No. 394/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst, No. 373/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst, No. 470/Pdt.G/2010/Jkt.Pst dan No. 18/Pdt.G/2010/Jkt.Pst, yang diduga dijadikan siasat untuk ngemplang utang kepada Marubeni Group sebesar 160,367,783.03 dolar AS.
Padahal, pada 2009, dalam perkara induk sengketa antara PT Garuda Panca Artha melawan Marubeni Corporation dkk, Gunawan Yusuf yang merupakan pemilik PT Markindo Group sejatinya sudah kalah telak. Sesuai putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 dan No. 2446 K/Pdt/2009 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Berdasarkan dua putusan kasasi tersebut, PT Garuda Panca Artha diputuskan tetap memiliki kewajiban pembayaran utang kepada Marubeni Corporation sebesar 160,367,783.03 dolar AS.
Namun Gunawan Yusuf tidak menyerah. Ia mendaftarkan sekaligus empat gugatan baru, dengan memanfaatkan asas
ius curia novit, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.
Dalam empat gugatan baru tersebut, materi pokok perkara sama dengan putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 dan No. 2446 K/Pdt/2009 yang telah inkracht.
Berawal dari Gunawan Menang LelangKasus perdata yang telah berumur 23 tahun itu bermula ketika Gunawan Yusuf, melalui PT Garuda Panca Artha (GPA) pada 24 Agustus 2001 menjadi pemenang lelang yang diselenggarakan BPPN atas PT Sugar Group Company (SGC), aset milik Salim Group, secara as is (kondisi apa adanya) dengan nilai Rp1,161 triliun.
Ketika akan dilelang, semua peserta lelang termasuk GPA, telah diberitahu segala kondisi SGC tentang aktiva, pasiva, utang dan piutangnya.
SGC yang bergerak dalam bidang produksi gula dan etanol ternyata memiliki total utang sebesar 160,367,783.03 dolar AS kepada Marubeni Group. Secara hukum, utang tersebut tentu menjadi tanggung jawab GPA selaku pemegang saham baru SGC.
Persoalan muncul ketika Gunawan Yusuf menolak membayar utang SGC. Ia malah menuduh utang sebesar itu merupakan hasil rekayasa bersama antara Salim Group dengan Marubeni Group. Namun, dalam putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 dan No. 2446 K/Pdt/2009, majelis hakim agung MA menolak mentah-mentah dalil Gunawan. Karena itu, SGC tetap harus membayar utang tersebut kepada Marubeni Group dan PT Mekar Perkasa.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menegaskan, tuduhan rekayasa bersama Salim Group dengan Marubeni Group tidak mengandung unsur kebenaran. Selain itu, tuduhan rekayasa tersebut justru dibantah sendiri oleh Gunawan Yusuf melalui kuasa hukumnya, berdasarkan bukti surat tertanggal 21 Februari 2003.
Surat itu pada pokoknya menyatakan ingin menyelesaikan kewajiban pembayaran utang, dan bersedia melakukan pembahasan sehubungan dengan rencana pemangkasan sebagian utang (haircut). Ketidakbenaran tuduhan rekayasa itu diperkuat dengan bukti surat tertanggal 12 Maret 2003, yang intinya Gunawan Yusuf menawarkan penyelesaian kewajiban dengan menerbitkan
promissory note senilai 19 juta dolar AS.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, Jerry Massie menduga, salah satu sumber uang setoran yang diterima mantan pejabat MA Zarof Ricar sebesar Rp200 miliar, sebagaimana catatan yang ditemukan penyidik Pidsus Kejagung RI dan telah diungkap Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, patut diduga berasal dari setoran perkara-perkara No. 141/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst tanggal 6 April 2020, No.142/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst tanggal 6 April 2020, dan No. 232/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst tanggal 3 Desember 2020, yang berlanjut pada perkara kasasi No. 1362/PDT/2024.
”Terjawab sudah, mengapa Hakim Agung Syamsul Maarif dkk, selaku majelis yang menangani perkara No. 1362/PDT/2024 tidak mau mengundurkan diri. Penyidik Pidsus Kejagung RI harus mendalami hipotesa ini,” pungkas Jerry Massie.
Ketika diminta tanggapan usai penutupan acara Refleksi Akhir Tahun 2024, Ketua MA Sunarto menyampaikan agar wartawan meminta konfirmasi kasus tersebut kepada Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Soebandi. Namun, saat dihubungi, Soebandi malah minta wartawan menghubungi Hakim Agung, Yanto.
”Saya sedang cuti. Nanti Senin ya, cek ke bagian kepaniteraan perdata,” ujar Yanto, yang merupakan Jurubicara MA itu.
BERITA TERKAIT: