Megawati dinilai harus bertanggung jawab atas semua surat rekomendasi (SK) PDIP terkait pencalonan kepala daerah di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
"Dimana SK rekomendasi ketua partai tersebut diduga cacat hukum dan menimbulkan keadaan yang sulit dikembalikan kepada keadaan semula secara hukum terhadap para anggota PDIP dan masyarakat seluruh Indonesia," kata Anggiat BM Manalu, kuasa hukum kader PDIP Djufri dkk, dalam keterangannya, Sabtu (7/9).
SK dinilai cacat hukum, lantaran kepemimpinan Megawati di kepengurusan sudah selesai pada Agustus lalu. Karena masa kepengurusan sudah selesai, seharusnya kongres PDIP digelar.
"Sehingga (Megawati) tidak lagi berwenang untuk mengangkat dan melantik pengurus baru PDIP untuk tahun 2019-2024 hingga 2025," kata Anggiat.
Ia menjelaskan, sebelumnya setiap penyusunan pengurus, DPP PDIP harus melakukan kongres sesuai AD/ART PDIP. Sehingga kepengurusan PDIP periode 2019-2024 hingga 2025, tidak sah dan cacat hukum yang harus dibatalkan.
Ia menilai, perbuatan Megawati yang menyusun dan melantik pengurus baru DPP PDIP periode 2019-2024 hingga 2025 dan mendaftarkannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, tanpa prosedur yang tidak benar.
Hal itu merupakan perbuatan melawan hukum yang harus diluruskan dengan membatalkan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI sebagaimana Nomor M.HH-05.AH.11.02 Tahun 2024, tentang Pengesahan Struktur, Komposisi dan Personalia DPP PDIP Masa Bakti 2024-2025.
Selain itu, penerbitan SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.M.HH-05.AH.11.02 Tahun 2024, adalah perbuatan melawan hukum (PMH), karena tidak sesuai prosedur AD/ART dan adanya dugaan
conflict of interest atau konflik kepentingan pribadi dari menteri terkait, kala itu.
"Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dalam kabinet Presiden RI Joko Widodo, yang juga pengurus inti DPP PDIP, diduga mendapatkan perintah dari Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri selaku Tergugat I," kata Anggiat.
Dalam perkara ini, Tergugat II adalah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo Cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Tugas dan kewenangan Tergugat dua dinyatakan dalam Pasal 4 UUD 1945 yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang Undang Dasar. Oleh karena itu, tidak terjaminnya hak hak konstitusional dan hak asasi warga negara merupakan pelanggaran kewajiban hukum Tergugat II.
Dalam petitum gugatannya, Penggugat memohon agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara gugatan PMH tersebut dikabulkan seluruhnya. Majelis hakim dimohon supaya menyatakan Tergugat I dan Tergugat II dinyatakan bersalah melawan hukum.
"Memohon majelis hakim supaya menyatakan penerbitan SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.M.HH-05.AH.11.02 Tahun 2024, batal demi hukum. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat," demikian Anggiat.
BERITA TERKAIT: