Hal itu disampaikan langsung Soetjipto usai menjalani pemeriksaan selama enam jam sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 15.57 WIB di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (25/10).
"Masih terkait dengan impor LNG," kata Soetjipto kepada wartawan, Rabu sore (25/10).
Saat ditanya soal kerugian negara dari pengadaan LNG di Pertamina yang mencapai Rp2,1 triliun, Soetjipto menyebut hal tersebut merupakan kewenangan tim penyidik KPK.
"Itu kan kewenangan penyidik ya," pungkasnya.
Dwi Soetjipto selaku Dirut Pertamina periode 2014-2017 itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA) selaku Dirut PT Pertamina tahun 2009-2014.
Karen Agustiawan resmi ditahan KPK pada Selasa (19/9) dalam kasus yang merugikan keuangan negara mencapai 140 juta dolar AS atau setara Rp2,1 triliun.
Pada 2012, PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia. Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia di kurun waktu 2009-2040, sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, Industri Pupuk dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
Tersangka Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, Karen secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.
Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali, sehingga tindakan tersangka Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik, yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply, dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
Atas kondisi
oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina.
BERITA TERKAIT: