Demikian disampaikan pengamat kebijakan publik Universitas Nasional Jakarta, Rusman Ghazali, Jumat (13/11).
Menurut Rusman, dalam perkara itu di dalamnya ada pemberian konsensi tanah negara seluas 1.700 meter persegi dan wilayah pantai sepanjang 1000 meter kepada pihak swasta selama 70 tahun.
“MA harus punya komitmen dan tanggungjawab atas nama negara untuk bersama lembaga eksekutif melindungi dan mencegah pengelolaan asset negara dan nilai ekonominya ke pihak lain (swasta) untuk misi kepentingan pembangunan ekonomi negara yang lebih progresif,†kata Rusman di Jakarta, Jumat (13/11).
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Nasional Jakarta itu mengingatkan, bahwa sengketa mengenai Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara, terindikasi kuat bentuk manipulasi atau praktik kolusi dan korupsi oleh pihak tertentu.
Atas dasar itulah, perkara itu engan mudah terbaca dan terhitung akan potensi kerugian negara yang amat besar yangvmencapai Rp 55,8 triliun sebagaimana yang dilaporkan KHPP Immanuel, Jhonny & Rekan.
Terkait sikap PT Karya Tehnik Utama (KTU) yang teguh berpegangan pada perjanjian tahun 2004 dengan kepemilikan saham 85 persen terhadap PT KCN dan 15 persen PT KBN dan tidak mempertimbangkan adanya addendum perjanjian III yang sudah disahkan oleh Kemenkumham pada 2015.
Rusman Ghazali mengatakan, bahwa kekeliruan prosedur hukum atas pengelolaan asset negara dan nilai ekonominya tidak boleh mengalahkan kepentingan negara.
Apalagi, lanjut Rusman, hal itu menyangkut jatuhnya hak kuasa pengelolaan asset negara dalam kurung waktu yang lama (70 tahun) kepada pihak lain (swasta) melalui kekaburan (pengaburan) perjanjian kerjasama.
“Boleh jadi, ini merupakan “skema yang sengaja diciptakan†sebagai modus untuk memindahkan atau penguasaan asset negara dan nilai ekonominya ke pihak-pihak tertentu (PT KTU) yang hanya mengejar kepentingan individu,†tutur Rusman.
Menurut Rusman, konsesi PT KCN dengan KSOP V Marunda untuk pengelolaan tanah negara seluas 1.700 dan wilayah pantai 1000 M selama 70 tahun ini adalah kasus yang amat serius karena berpindahnya penguasaan asset negara ke pihak lain (swasta) secara mutlak.
“Kasus tersebut dapat diletakkan sebagai kasus perlawanan pada hak kuasa negara atas assetnya sendiri dan segala nilai ekonomi yang melekat pada asset tersebut selama 70 tahun ke depan,†tegas Rusman.
Rusman melanjutkan, PT KBN harus tetap berdiri tegak memperjuangkan hak kuasa atas asset negara dan nilai ekonominya sebagai tanggung jawab kebijakan, bersama dengan Kementerian BUMN dan Pemerintah DKI Jakarta sebagai pihak terkait (related) melalui jalur kebijakan dan jalur hukum yang tepat.