Jaksa KPK menghadirkan terdakwa Marsudin Nainggolan di persidanga, kemarin. Dia diminta menjadi saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT Erni Putra, Tamin Sukardi dan Hadi Setiawan. Kedua terdakwa diÂtuduh sebagai pemberi dan peranÂtara suap hakim PN Medan.
Marsudin mengaku, pernah membahas perkara yang ditanganinya bersama Hadi, peranÂtara suap di JW Marriott Medan. Pertemuan di hotel dilakukan mengingat keduanya punya hubungan baik. Pertemuan pada 25 Agustus 2018 itu terjadi lanÂtaran ada permintaan dari Hadi.
Keduanya bertemu di lobi hotel. Pada pertemuan itu, Hadi curhat soal masalah hukum yang dihadapi bosnya, Tamin Sukardi terkait penjualan lahan PTPN. Hadi pun marah kepada Marsudin. Alasan kemarahanÂnya ialah, kenapa sampai jaksa ngotot dan menuntut Tamin bersalah.
"Jadi, dia nggak meminta sesuatu secara spesifik tapi seperti ngomel," kata Marsudin.
Pernyataan itu bikin Jaksa KPK bereaksi. Tim jaksa penuntut umum bersikukuh bahwa saat itu Hadi meminta Marsudin sebagai ketua PN Medan mengÂgunakan pengaruhnya untuk mengarahkan anggota majelis hakim dalam memutus perkara.
Argumen jaksa itu dikuatkan dengan berita acara pemeriksaan (BAP) Marsudi yang menyeÂbutkan, Sebab di dalam BAP atas nama Marsudi disebutkan, Hadi meminta alamat rumah ketiga hakim yang menangani perakara Tamin.
Ketiga hakim tersebut adaÂlah Wahyu Prasetyo Wibowo sebagai hakim ketua, Sontan Merauke Sinaga sebagai hakim anggota I, dan Merry Purba seÂbagai hakim anggota II ad hoc.
Menanggapi permintaan Hadi, saksi menjawab bahwa majelis hakim sudah bermusyawarah untuk menentukan bersalah atau tidaknya Tamin Sukardi. Sehingga tidak mungkin merÂubah keputusan mereka.
"Itu saya rasa sudah final musyawarah hakim, kan enggak mungkin enggak mungkin segampang itu mengubah putusan hakim jika sudah dimusyawarahÂkan," beber BAP Marsudin yang dibacakan jaksa.
Percakapan soal perkara seÂlesai setelah Marsudin menginÂgatkan Hadi agar berhati-hati. Soalnya, perkara yang menjerat pengusaha ternama di Medan itu jadi sorotan masyarakat. Bahkan dia juga menyebut KPK ikut memantau.
"Ya sudah kalau itu terbaik, yang penting saya punya niat baik," sitir Marsudin menirukan pernyataan terdakwa.
Setelah selesai membahas perkara, Masrudin mengaku ditawari menginap di Kamar 2733 yang sudah dipesan Hadi. Namun ditolak, karena masih banyak urusan. Salah satunya adalah memenuhi permohonan wawancara dari mahasiswi S3.
Marsudin kemudian pergi meninggalkan hotel, tapi di tengah jalan dia dihubungi oleh mahasiswi yang memintanya melakukan wawancara meski sudah malam. Atas permintaan itu, Marsudin kembali ke hotel dan menggunakan kamar 2733 yang sudah disewa Hadi untuk wawancara berdua dengan maÂhasiswi yang dibimbingnya.
"Mahasiswinya satu orang. Anaknya nunggu di bawah. Jadi itu (wawanacara) masalah jamiÂnan investasi pariwisata dalam kaitan masyarakat ekonomi. Bukan masalah pidana bukan." Masrudin kemudian menjelasÂkan wawancara tersebut berÂlangsung singkat, mereka masuk kamar pukul 22.00 dan selesai pukul 24.00 WIB.
Jaksa sempat mengklariÂfikasi apakah mahasiswi S3 itu diantarkan pulang ke rumahÂnya. Namun, Marsudin enggan menjawab. Dia menganggap pertanyaan jaksa tidak ada kaitan dengan perkara. Dia melanjutkan,mestinya tawaran kamar dari Hadi tidak diterima sebab bertentangan dengan kode etik hakim.
Dalam perkara ini, Tamin didakwa secara bersama-sama dengan Hadi Setiawan telah menyuap Hakim Ad Hoc PN Medan, Merry Purba sebanÂyak 150 ribu diklat Singapura dan 130 ribu dolar Singapura untuk Hakim Sontan Merauke Sinaga. Uang suap itu diserahÂkan melalui Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Medan, Helpandi.
"Dengan maksud untuk memÂpengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili," kata Jaksa Tri Mulyono Hendradi.
Dalam perkara yang disidangÂkan PN Tipikor Medan, Tamin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan. Serta diminta membayar uang pengganti kerugian negara Rp 132.468.197.742. Putusan itu, mendapat disenting opinion dari Merry Purba yang menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti.
Satu hari setelah putusan dibacakan pada 27 Agustus 2018, KPK menangkap Helpandi, Tamin, dan Merry Purba. Selanjutnya pada 4 September 2018 Hadi Setiawan menyerahkan diri kepada petugas KPK di Hotel Suncity Surabaya.
Dalam penangkapan, KPK ikut mengamankan uang sebeÂsar 130 ribu dolar Singapura yang rencananya akan diserahÂkan kepada Sontan. Sementara uang untuk Merry, sudah diserahkan lebih dulu pada 25 Agustus. ***
BERITA TERKAIT: