Begitu dikatakan Jurubicara KPK, Febri Diansyah lewat pesan singkat, Senin (4/9).
"DPR bersama Presiden telah mengesahkan UU terorisme sebagai UU khusus, bukan justru memilih memasukan aturan tersebut di RUU KUHP," kata dia.
Febri mempertanyakan sikap pemerintah saat ini yang terkesan menganggap perbuatan korupsi bukan bagian dari kejahatan luar biasa dan berdampak buruk bagi bangsa atau pun negara.
"Apakah saat ini korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan yang sangat membahayakan negara dan merugikan rakyat?" ujarnya.
Febri mengungkapkan, hingga saat ini belum ada tanggapan serius dari pemerintah terkait permintaan agar pasal-pasal tindak pidana korupsi tidak dimasukkan dalam RUU KUHP. Padahal, Lembaga Antikorupsi sudah lima kali melayangkan surat kepada pemerintah.
Surat pertama dikirimkan KPK pada 14 Desember 2016. Kemudian surat kedua dikirim pada 4 Januari 2017, disusul surat ketiga pada 13 Januari 2017. Lalu, surat keempat dikirimkan kembali pada 24 Mei 2017 dan surat terakhir dikirim pada 13 Februari 2018.
Terlepas dari itu, kata Febri, KPK masih percaya Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan pemberantasan korupsi dilemahkan.
"Kami harap, saat ini, ketika pemberantasan korupsi terancam kembali jika RUU KUHP disahkan, Presiden dapat kembali memberikan sikap yang tegas untuk mengeluarkan delik korupsi dari RUU KUHP," pungkasnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: