Tindakan fraud tersebut tentu sangat merugikan nasabah. BunÂtutnya, pengawasan terhadap BPR dituding terlalu longgar, sehingga kecurangan demi keÂcurangan kerap terjadi.
"Pengawasan yang dilakukan OJK masih terlihat lemah. BukÂtinya masih ada kecolongan yang dilakukan Dirut BPR. Yang kerap kali terjadi adalah, terkait amburÂadulnya sistem manajemen yang ada di BPR," tutur pengamat perÂbankan dari Universitas Gadjah Mada Paul Sutaryono kepada
Rakyat Merdeka. Ia menilai banyak persoalan yang harus dibenahi di tubuh BPR. Mulai dari manajemen hingga masalah yang terkait sumber daya manusianya. NaÂmun sebenarnya, sambung Paul, dengan adanya
fit and proper test, sedikit banyak bisa memperbaiki kualitas manajemen BPR.
Permasalahan lainnya, adaÂlah jumlah BPR yang sangat banyak, sehingga menyulitkan OJK untuk mengawasinya. Sebut saja 10 tahun lalu jumlah BPR pernah mencapai 1.700, tapi kini jumlahnya menyusut menjadi 1.621 BPR yang terseÂbar di Indonesia.
Tidak cukup di situ, Paul membeberkan ada titik lemah BPR lainnya. Pertama, soal modal yang perlu ditingkatkan karena banyak BPR bermodal kecil. Kedua, kemampuan manaÂjemen yang dirasa perlu terus ditingkatkan.
"Ketiga, bagaimana
goverÂnance yang lemah, sehingga masih sering terjadi
conflict of interest yang mengakibatkan kebangkrutan. Empat, teknologi informasi yang belum memadai dan terakhir soal kebijakan peÂmerintah yang tidak mendukung BPR," paparnya.
Kasus fraud yang melibatkan Dirut BPR KS BAS, kata Paul, memang sangat disayangkan terÂjadi. Untuk itu, ia meminta, agar pengawasan lembaga otoritas lebih ketat dan menyeluruh.
Kepala Departemen PenyidiÂkan Sektor Jasa Keuangan OJK Rokhmad Sunanto menjelaskan, pengungkapan kasus ini berawal dari temuan saat OJK melakukan pengawasan terhadap kegiatan BPR KS BAS.
"Kemudian ditindaklanjuti oleh Satuan Kerja Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK, dan diteruskan menjadi proses huÂkum untuk ditindak kepolisian," tuturnya dalam keterangan resmi yang diterima
Rakyat Merdeka. Rokhmad membeberkan, moÂdus operandi yang dilakukan NS, sebagai Direktur Utama sekaliÂgus sebagai Pemegang Saham BPR KS BAS adalah, dengan memerintahkan pegawai BPR memproses pemberian kredit kepada 54 debitur, dengan total nilai sebesar Rp 24,225 miliar pada periode Maret 2014 sampai dengan Desember 2014.
Namun kata Rokhmad, prosesnya tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga menyebabkan pencatatan palsu, dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan, untuk memasÂtikan ketaatan bank terhadap ketentuan perbankan.
"Dalam kasus ini, pelaku NS bekerja sama dengan JAL (Dirut atau pemilik PT IHS peÂnyalur tenaga kerja) yang saat ini sedang dilakukan penyidiÂkan oleh Penyidik Polda Bali," terangnya.
Saat ini sejumlah tindakan penyidikan yang telah dilakukan OJK terkait kasus ini antara lain, memeriksa 25 orang saksi terÂmasuk pegawai BPR KS BAS, notaris, debitor, pemilik dan staf perusahaan penyalur Tenaga Kerja Indonesia ke Jepang.
Selain itu, memeriksa dua orang ahli dari internal OJK dan dari Fakultas Hukum UniversiÂtas Udayana Bali, memeriksa tersangka, melakukan penyitaan barang bukti berupa dokumen kredit dan kelengkapannya dengan penetapan penyitaan dari Pengadilan Negeri Denpasar Bali. Serta menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dan menyerahkan terÂsangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. ***
BERITA TERKAIT: