Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPK Harus Ambil Alih Kasus Akuisisi Blok BMG Dari Kejagung

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yusri-usman-5'>YUSRI USMAN</a>
OLEH: YUSRI USMAN
  • Jumat, 02 Februari 2018, 08:59 WIB
KPK Harus Ambil Alih Kasus Akuisisi Blok BMG Dari Kejagung
Yusri Usman/Net
BEREDARNYA berita penetapan tersangka kasus korupsi penempatan investasi migas Pertamina di Blok BMG (Basker Manta Gummy) Australia tahun 2009 oleh Kejaksaan Agung sesuai surat Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus bernomor: TAP-06/F.2/Fd.1/01/2018 tanggal 23 Januari 2018 atas nama tersangka BK mantan Manager Merger & Akuisisi Pertamina hulu dianggap aneh dan menggangu akal sehat orang yang paham hukum, terkesan penyidik Kejagung diduga ingin menyelamatkan kesalahan rombongan direksi Pertamina saat itu, seharusnya merekalah yang harus dijerat sebagai tersangka jikalau pihak penyidik sudah menemukan dua alat bukti yang meyakinkan, yaitu adanya unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian negaranya.

Bahkan dalam penjelasannya dari pihak Kejagung oleh Rum, dikatakan BK telah ditetapkan sebagai tersangka disebabkan dalam mengambil keputusan tidak mengacu pada pedoman investasi dan tidak melakukan tahap "due duligence" atau tidak melakukan kajian lengkap dan diduga pengambilan keputusan itu juga tanpa persetujuan Dewan Komisaris dan akibatnya Pertamina rugi sekitar Rp 568 miliar (Rakyat Merdeka tanggal 31/1/ 2018 halaman 4).

Sehingga kalau semua keterangan di atas itu benar resmi dikeluarkan oleh pejabat resmi Kejagung tentu patut disesalkan dan sudah tentu bisa jadi dibaca oleh publik bahwa telah terjadi pembohongan publik oleh pejabat tersebut, apalagi dikatakan sudah sekitar 49 saksi diperiksa.

Seharusnya penyidik sudah mendapat bentuk bagan organisasi Pertamina dan tata kelolanya terkait proses bisnis yang sudah baku dijalankan di Pertamina dalam setiap akan melakukan akusisi dan divestasi suatu blok migas di dalam negeri maupun di luar negeri, artinya tanpa persetujuan BOD (Board Of Director) dan BOC (Board Of Comisioner) tak mungkin seperse pun uang bisa berpindah dari kantong Pertamina kepihak lainnya, apalagi sudah mencapai hampir USD 61 juta sudah digelontorkan sejak Mei 2009 sampai dengan divestasi nol dolar pada tahun 2013, kalaupun itu bisa terjadi, maka yang harus ditangkap duluan adalah direktur keuangannya yang dijabat oleh Frederick STď Siahaan saat itu, bukan Manager Merger dan Akuisisi, karena dia memang tidak punya wewenang memutuskan investasi, apalagi wewenang mengeluarkan uang seperse pun tanpa persetujuan dewan direksi.

Oleh karena itu, demi menjaga citra positif korps Kejaksaan Agung di mata publik, sebaiknya Jaksa Agung memerintahkan gelar perkara terbuka proses penyidikannya berdasarkan alat bukti surat yang lengkap dan keterangan saksi saksi yang jujur, bukan yang penuh kebohongan dan rekayasa.

Termasuk penyidik harus mendalami peran penting Direktur Keuangan Pertamina Frederick ST Siahaan dan VP Keuangan Budi Himawan yang awalnya berinisiatif menawarkan akuisi blok BMG ke Direktur Hulu Karen Agustiawan.

Adapun penyerahan usulan akusisi langsung ke Direktur Hulu tanpa melalui SVP Keuangan Evita Tagor saat itu diduga ada misi khusus untuk tidak melibatkannya, padahal seharusnya usulan dari Direktur keuangan harus ke Evita Tagor terlebih dahulu sebagai SVP baru kemudian turun ke VP Keuangan Budi Himawan, sehingga penyidik harus juga menelusuri peran penting yang dilakukan oleh konsultan Pertamina Garry Hink yang berkewargaan Australia yang sekarang bekerja di perusahaan minyak Malaysia.

Sehingga keterangan dari pejabat terkait di atas diharapkan akan membuka tabir baru sesungguhnya siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum atas kerugian Pertamina saat itu.

Perlu diketahui beberapa informasi penting terkait proposal akuisisi telah disetujui oleh BOC dan BOD melalui serangkaian mulai proses TP3UH, Komite investasi, Renbangis termasuk persetujuan penetapan harga  akuisisi oleh Dirut Pertamina Karen Agustiawan sebesar USD 35 juta untuk nilai 15 persen saham blok BMG, kemudian direvisi hasil negosiasi nilai saham 10 persen adalah USD 31 juta,  dan ternyata persetujuan harga tersebut ternyata diparaf juga oleh Gunung Sarjono sebagai SPV UBD (Upstream ñBusiness Development), Widyawan SPV Renvangis dan Bayu Kartika sebagai Manager Merger dan Investasi serta oleh Genandes Panjaitan sebagai chief legal Pertamina.

Setelah proses akuisisi selesai, blok migas BMG dikelola oleh PHE dengan Dirutnya Teny Wibowo dan tingkat produksinya 9000 barel perhari di blok Basker selama 3,5 tahun.

Kemudian munculah persoalan menghadang pada tahun 2012, ROC sebagai operator melaporkan ada 3 masalah telah terjadi, yaitu masalah lingkungan, FSO rusak (Fasility Storage Oil) dan   cadangan menurun, akan tetapi tidak berapa jelas mana yang benar dari ketiga alasan tersebut diatas sehingga operasi produksinya dihentikan sementara, padahal potensi cadangan migas di dua blok lainya yaitu blok Manta dan blok Gummy masih mempunyai prospek dan lead, karena ditemukannya cadangan gas dan kondensat yang masih menunggu GSA untuk dapat dikembangkan secara komersial lapangannya pada tahun 2013, dan penghentian ini diikuti dengan proses divestasi 10 persen saham PHE dengan nilai nol.

Blok Manta tersebut dioperasikan oleh Cooper yang juga merupakan partner KSO PT. Pertamina EP pada tahun 2010 di berbagai lapangan di Sumbagsel selama 15 tahun, bisa jadi kepentingan oknum oknum pejabat Pertamina diduga terlibat telah diakomodir diperusahaan tersebut, karena berdasarkan informasi rencana pengembangan lapangan gas dari Manta Gas Field akan memperoleh revenenue miliaran dolar Amerika bagi perusahaan Cooper, hal itulah yang sangat penting didalami oleh penyidik saat ini.

Bisa jadi dari keterangan dan bukti yang ada itu akan bisa membuka tabir baru dugaan mark up dalam akuisisi blok Algeria dari Conoco Philips Algeria dan blok Murphy di Malaysia serta blok migas lainnya, dugaan saya ada miliaran dolar uang Pertamina telah yang menguap.

Karena sejak lama saya sudah mengungkap dugaan inefisien proses bisnis di tubuh Pertamina telah terjadi, tetapi rakyatlah akhirnya harus menanggung membeli BBM dengan harga lebih mahal, bukan karena penugasan pemerintah terhadap kebijakan BBM satu harga.

Hanya satu jawabannya, Kejaksaan Agung harus serius menyidiknya atau KPK ambil alih.

Inilah kisah sodap-sodap ngeri, sodap-nya diakuisisi berujung ngeri diproses divestasinya. Soor-nya di kalian, tapi tak soor-nya di awak. [***]

Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA