KPK Hidupkan Lagi Kasus BLBI

Tahan Bekas Kepala BPPN

Jumat, 22 Desember 2017, 10:01 WIB
KPK Hidupkan Lagi Kasus BLBI
Foto/Net
rmol news logo Babak baru kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI sudah dimulai. Kemarin, KPKresmi menahan tersangka dalam kasus ini, Syafruddin Arsyad Temenggung.

Syafruddin adalah Eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dia ditahan setelah menjalani pemeriksaan selama 6 jam. Syafruddin yang mengenakan kemeja biru, sudah terlihat di dalam ruang tunggu lobi gedung KPKsejak pukul 10 pagi. Sekitar 5 menit kemudian, dia yang menenteng tas hitam, naik ke lantai atas, ruang pemeriksaan.

Beberapa menit sebelum pukul 4 sore, dia keluar dari Gedung KPK. Kemeja birunya sudah dilapisi rompi tahanan oranye KPK. Sebelum dinaikkan ke dalam mobil tahanan yang akan membawanya ke Rutan KPK, Syafruddin menyatakan mematuhi proses hukum. Namun, dia menjelaskan, SKL yang diterbitkannya untuk Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) 13 tahun lalu sudah melalui persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). "Semua yang saya kerjakan di BPPN sesuai dengan aturan semua, sudah sesuai audit BPK dan semua sudah dikerjakan sebaik-baiknya,"  kata dia. "Saya hanya mengikuti aturan. Dan saya sudah punya," imbuhnya sambil menunjukkan hasil audit BPK tahun 2006 yang tertuang dalam buku bersampul kuning.

Syafruddin, yang menyandang status tersangka sejak 25 April 2017, juga sempat menjelaskan temuan dugaan kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun dalam audit BPK 2017.

Menurutnya, dugaan itu muncul lantaran hak tagih utang petambak Rp 4,8 triliun, yang menjadi bagian pembayaran utang BDNI ke BPPN, dijual senilai Rp 220 miliar oleh Menteri Keuangan pada 2007. Padahal, menurutnya, selama memimpin BPPN, tidak pernah menghapuskan utang petambak. "Kalaupun ada potensi kerugian negara, yang melaksanakan penjualan bukan kami, tetapi Menteri Keuangan dan PT PPA. Dan waktu penjualannya setelah BPPN tutup tahun 2004," jelasnya. Karena itu, dia bakal "menghadapi" KPK dalam pengadilan.

Pertanyaan terakhir yang diajukan wartawan, tak mau dijawab Syafruddin. "Pak, pemberian SKL ini ada arahan dari Bu Megawati?". Syafruddin hanya tersenyum sambil menaiki mobil tahanan.

Sebelumnya, Syafruddin sempat menggugat KPK di PN Jakarta Selatan 3 Mei 2017 silam. Namun, gugatan dicabut lantaran hendak melakukan perbaikan. Dia kemudian mengajukan kembali gugatan praperadilan setelah memperbaikinya. Namun, Hakim Praperadilan Effendi Mukhtar menolak gugatan Syafruddin.

Ini bukan kali pertama Syafruddin terjerat kasus. Sebelumnya, pada 2006, dia juga menjadi tersangka perkara penjualan aset Pabrik Gula Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) III Gorontalo yang ditangani Kejaksaan Agung. Sebagai Kepala BPPN saat itu, dia menjual pabrik tersebut senilai Rp 84 miliar. Padahal nilai taksir aset itu mencapai Rp 600 miliar. Akibatnya negara mengalami kerugian sekitar Rp 516 miliar. Namun, pada Juni 2007, Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supandji menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan bernomor Print-01/O.1.14/Ft/06/2007 lantaran tak menemukan cukup bukti.

Tahun lalu, tepatnya 23 September 2016, Syafruddin kembali menyandang status tersangka di Kejagung dalam kasus dugaan pembelian hak tagih (cessie) PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) dari BPPN pada 2003.

Penahanan Syafruddin, menjadi babak baru bagi pengusutan kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI. KPK telah melakukan penyelidikan ini sejak 2014. Tiga tahun penyelidikan, tim KPK akhirnya menemukan dua alat bukti yang bisa menjerat Syafruddin setelah memeriksa banyak eks pejabat di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Di antaranya, eks Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, eks Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie dan eks Menteri Koordinator Perekonomian Dorojatun Kuntjoro. Kemudian, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, eks Menteri BUMN Rini M Soemarno serta eks Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta.

Untuk diketahui, penerbitan SKL didasari Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Dalam Inpres yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri itu diatur bahwa pemberian SKL dilakukan oleh Kepala BPPN setelah mendapat persetujuan dari KKSK dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.

Sementara, BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter tahun 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Hasil audit BPK menyebutkan, dari dana BLBI negara dirugikan sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,878 persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA