Begitu dikatakan Pakar hukum tata Negara, Margarito Kamis di Jakarta, Minggu (17/9).
Menurut dia, secara ketatanegaraan, prinsip final and binding alias final dan mengikat sendiri sesungguhnya punya masalah tersendiri. Pasalnya, kata dia sesuai undang-undang, prinsip itu sesungguhnya hanya untuk Pemilu. Bukan untuk Pilkada.
"Itu kan hanya untuk perkara-perkara misalnya Judicial Review, pembubaran partai politik, impeachment, dan sengketa hasil Pemilu. Pilkada kan bukan Pemilu, jadi final dan binding hanya berlaku untuk lima hal ini karena itulah yang dinyatakan dalam konstitusi," terang Margarito.
Nah untuk sengketa Pilkada, kata dia, harusnya MK membubakakan kemungkinan untuk dilakukan koreksi jika memang harus ada yang dikoreksi.
"Apalagi kesalahan itu fundamental. Misalnya di dua kecamatan ada tambahan DPT (daftar pemilih tetap) hampir 20 ribu orang. Di DPR pertama 500 sekian tiba-tiba pada Pemilu ulang ada tambahan sekitar 14 ribu. Banyak bangat itu orang. Satu kecamatan lagi tambahan 6 ribu. Banyak bangat itu," katanya mengomentari sengketa Pilkada Intan Jaya yang sudah diputus MK.
Kata dia di Kabupaten Intan Jaya, Paslon nomor urut dua Yulius Yapugau dan Yunus Kalabetme menurut hasil penghitungan KPUD Intan Jaya merupakan pemenang Pilkada tahun 2017 yang tertuang dalam berita acara nomor 7/BA/KPU IJ/II/2017.
"Namun MK memutuskan lain, MK memenangkan Paslon incumbent yakni Natalis Tabuni dan Yaan Robert Kobogoyaw, tapi putusan itu jelas sekali sesat dan tidak konsisten,†sesalnya.
Yang jadi masalah menurutnya, pertama, MK memutuskan paslon incumbent sebagai pemenang berdasarkan C1 KWK yang dihitung oleh MK saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun hasil tersebut berbeda dengan jumlah DPT yang ditetapkan sebelumnya dalam pleno KPUD Intan Jaya.
Hasil hitungan MK total suara sah di Distrik Wandai sebesar 14.509 sementara DPT nya hanya 8.352, di Distrik Homeyo, hasil hitungan MK total suara sah 18.079 sementara DPT nya hanya 14.881, dan Distrik Mbiandoga hasil hitungan MK total suara sah sebanayk 567, padahal jumlah DPT sebanyak 14.509.
"Ini kan menunjukkan bahwa data C1 yang diserahkan ke MK oleh Rafly Harun sebagai kuasa hokum nomor 3 adalah tidak valid dan penuh rekayasa, kenapa MK masih menghitungnya ? Kenapa tidak di cek dulu DPT nya? tekannya.
Margarito menilai putusan MK tersebut juga tidak konsisten. Pasalanya dalam putusan sebelumnya MK menggugurkan perolehan semua paslon hanya di 7 TPS yang dinilai bermasalah yang kemudian MK memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) di 7 TPS tersebut.
Logikanya, lanjut Margarito, suara semua paslon di luar 7 TPS bermasalah itu bersifat final sebagai suara sah yang telah ditetapkan sendiri oleh MK. Padahal seharusnya menurut dia MK tinggal menghitung suara dasar tersebut dan ditambahkan dengan suara hasil PSU di 7 TPS.
"Namun kenyatannya tidak, MK malah menghitung ulang semua berdasarkan C1 yang tidak valid, artinya MK melanggar putusannya sendiri yang sebelumnya,†imbuhnya.
Kata dia perolehan suara seluruh paslon selain tujuh TPS bermasalah yakni paslon nomor 1 : 8.636 paslon no 2 : 33.958, no 3 : 31.476 dan no 4 : 1.928. Perolehan suara tersebut harusnya ditambahkan dengan suara perolehan suara hasil PSU 7 TPS dimana suara paslon nomor 1 : 120, nomor 2 : 1076, nomor 3: 2.048, nomor 4 : nol. Total suara paslon bila ditambahkan suara dasar dan hasil PSU maka sebagai berikut : Paslon no 1 : 8.756, nomor 2 : 35.034, no 3 : 33.524, no 4 : 1.928. Namun MK dengan C1 KWK yang tidak valid itu memangkan paslon nomor 3 dengan suara 36.883 dan paslon nomor 2 : 34.395.
Akibat putusan yang menurutnya sesat itu, ditegaskannya bahwa MK harus bertanggung jawab atas dampak konflik masyarakat di Intan Jaya. Paslon nomor dua adalah utusan suku Moni, suku asli dan mayoritas di Intan Jaya, sehingga mereka sadar betul bahwa kekalahan ini akibat adanya kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara yakni KPUD Intan Jaya yang memanipulasi C1 KWK yang oleh MK dijadikan dasar penghitungan suara.
"Sebagai penjaga konstitusi harusnya MK memberikan keadilan kepada masyarakat, bukan justeru menjadi pemicu munculnya konflik masyarakat, harusnya hakim-hakim MK belajar dari kasus akil mukhtar," tandasnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: