Kritikan itu dilontarkan beÂkas bekas Menkumham Hamid Awaludin. Dia mencontohkan ketidakpatuhan Menkumham Yasonna H Laoly terkait sengÂketa internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"Beberapa putusan kasasi MA yang jelas dan terang benderang, seperti Putusan Kasasi MA No 504 yang membatalkan kepengurusan Muktamar PPP Surabaya, toh pemerintah tetap jalan dengan kemauannya sendÂiri, meski melanggar putusan yang berkekuatan hukum tetap," kata mantan anggota KPU ini.
Menurutnya, Menkumham Yasonna sepertinya lupa bahwa putusan kasasi MA yang berkekuatan hukum tetap derajatÂnya sama dengan UU.
"Sifatnya imperatif. Pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut melanggar undang-undang. Bila sebuah rezim peÂmerintahan sudah melanggar undang-undang maka risiko poliÂtiknya sangat besar. Hukum itu berlaku kepada siapa saja. Termasuk pemerintah," tegasnya.
Awaludin kembali mengingatÂkan kepada seluruh aparat negara bahwa ketentuan yuridis yang tertuang dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) sudah jelas disebutkan bahwa empat bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tergugat (tata usaha negara) tidak melaksanakan kewajibannya, maÂka keputusan TUN itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum.
Bila tergugat tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut, lanjut Awaludin, maka pejabat yang bersangkutan dikeÂnai upaya paksa pembayaran sejumlah uang dan sanksi adÂministratif.
"Yang terakhir ini kita sangat miskin. Piramida struktur peÂmerintahan kita masih enggan memberi sanksi kepada pejaÂbatnya yang tidak melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara," paparnya.
Awaluddin menambahkan, ketidakkepatuhan pejabat negara yang keputusan atau kebijakanÂnya dikoreksi oleh pengadilan dan mereka tidak mau melaksanakan putusan itu implikasinya sangat dahsyat.
"Ketidakpatuhan mereka memÂbawa efek domino secara negatif. Prilaku pejabat itu mempengaruhi prilaku rakyat. Rakyat beramai-ramai meniru ulah pejabat yang tidak mau patuh pada ketentuan hukum yang ada," ujarnya.
Sebagai bekas Menkumham, ia pribadi pernah menghadapi persoalan internal partai politik. Bahkan, ia juga menghadapi berbagai tekanan politik, demo silih berganti dari internal partai bersengketa.
"Apapun keputusan atau keÂbijakan yang saya ambil pasti selalu disalahkan. Tapi setelah pengadilan mengambil sebuah putusan hukum, saat itu juga saya langsung melakukan eksekusi. Saya jalankan putusan pengadilan itu. Posisi ini meÂmang berat, apalagi bila pejabat memiliki agenda khusus. Tapi dengan eksekusi itu kedua belah pihak menerima. Dan saya tak lagi didemo." tutupnya. ***
BERITA TERKAIT: