Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta, Mudzakkir menilai bahwa majelis hakim bisa memutus kasus itu diluar apa yang ditutuntan jaksa KPK. Yakni hukuman maksimal sesuai Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yakni hukuman maksimal lima tahun penjara.
"Prinsipnya semua hakim bisa memutus melebihi apa yang mereka (jaksa) tuntut. Yang dituntut itu kan ancer-ancer keadilan dalam menjatuhkan pidana menurut jaksa," tegas Muzakir pada wartawan, Jakarta, Selasa (23/5).
Ditambah lagi, kata Muzakir, KPK menolak status justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku kepada Fahmi. Dengan begitu, hakim bisa memutus hukuman maksimal kepada Fahmi sesuai dengan pasal yang disangkakan.
"Hakim boleh memutus yang sangat berbeda dengan apa yang diajukan oleh jaksa. Selagi, pertama pasalnya ada dalam dakwaan jaksa. Yang kedua hukumannya, dari satu hari sampai dengan maksimum sesuai dengan UU yang dijatuhkan. Kalau UU bilang maksimal seumur hidup, hakim bisa memutus seumur hidup," pungkas Muzakir.
Suami Inneke Koesherawati itu diketahui dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subisder 6 bulan kurungan. Fahmi dinilai sebagai pihak yang memberikan suap kepada pejabat di Bakamla.
Dalam amar tuntutan jaksa, Fahmi terbukti memberikan suap kepada empat pejabat di Bakamla yakni Nofel Hasan senilai SGD 104.500, Tri Nanda Wicaksono sebesar uang Rp 120 juta, Bambang Udoyo sebesar SGD 105.000, serta uang SGD 100.000, USD 88.500 dan 10.000 Euro kepada Eko Susilo Hadi.
Jaksa menyebut suap yang diberikan oleh Fahmi adalah untuk kepentingan bisnisnya. Yakni agar perusahaan yang dimilikinya mengharap proyek di Bakamla.
"Tampak jelas Fahmi ingin memberikan uang kepada Eko, Bambang, Nofel dan Trinanda karena sudah memenangkan perusahaan yang dikendalikan terdkawa yaitu PT MTI. Semua uang dari terdakwa untuk kepentingan terdakwa di Bakamla," kata Jaksa Kiki beberapa waktu lalu.
[san]