Menurut anggota Komisi III Nasir Djamil, tuntutan jaksa terlalu rendah dan terkesan tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Padahal, dibandingkan dengan kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia selama ini, tuntutan jaksa justru lebih tinggi.
"Ini kok aneh ya, kasus penistaan yang menimbulkan reaksi dari umat di Indonesia bahkan diprediksi jutaan umat turun ke jalan hanya dituntut dua tahun percobaan. Ini tidak benar," katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta (Kamis, 20/4).
Nasir mencontohkan, kasus Arswendo Atmowiloto di tahun 1990 dan kasus HB Jassin tahun 1968 menunjukkan bahwa tuntutan jaksa sampai lebih dari dua tahun penjara, dan ada yang hanya satu tahun percobaan. Tetapi, kasus tersebut tidak sampai menimbulkan reaksi masyarakat yang berlebihan seperti kasus Ahok saat ini.
"Ahok telah jelas-jelas dan secara sadar mengungkapkan kalimat yang berujung pada penistaan dan menimbulkan reaksi masyarakat malah hanya dituntut lebih tinggi sedikit dari kasus HB Jassin," ujar Nasir.
Meski demikian, dia masih berharap agar majelis hakim dapat memutuskan kasus Ahok lebih sesuai dengan rasa keadilan, berdasarkan dengan fakta-fakta persidangan.
"Sehingga publik dapat merasakan keadilan dari putusan itu," tegas Nasir.
Diketahui, jaksa penuntut umum pada Pengadilan negeri Jakarta Utara mendakwa Ahok dengan Pasal 156 huruf (a) KUHP, di mana ancaman hukuman lima tahun. Begitu masuk tahap tuntutan, gubernur DKI Jakarta itu malah dinyatakan secara sah dan terbukti melanggar Pasal 156 KUHP dalam dakwaan alternatif. Padahal tuduhan dari penyidik ada dua, yakni melanggar Pasal 156 huruf (a) dan Pasal 28 Undang-Undang 11/2008 tentang ITE. Pasal 28 UU ITE diganti jaksa dengan Pasal 156 tentang penistaan antar golongan.
[wah]
BERITA TERKAIT: