Aktivis ForBALI Ditahan, PDIP: Krama Bali Tolak Reklamasi Akan Melawan!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 13 Februari 2017, 01:05 WIB
Aktivis ForBALI Ditahan, PDIP: Krama Bali Tolak Reklamasi Akan Melawan<i>!</i>
Ilustrasi/Net
RMOL. Kepolisian Polda Bali menahan dua aktifis ForBALI karena sangkaan penghinaan lambang negara. Mereka adalah I Gusti Dharma Wijaya alias Gung Omledh dan I Made Joniantara alias De John.

Merasa prihatin, Anggota DPR RI Komisi VI Nyoman Dhamantra didampingi beberapa kuasa hukumnya hadir membesuk kedua aktifis lingkungan itu, Minggu (12/2).

Namun sayang, mereka tidak diperkenankan masuk dalam ruangan besuk. Sebab, menurut aturan, jam besuk hanya di hari Selasa dan Kamis.

Dhamantra bersama beberapa kuasa hukum, yakni Wayan 'Gendo' Suardana, Made 'Ariel' Suardana dan beberapa kuasa hukum dan kerabat dari dua aktifis hanya diperkenankan berbicara dari luar jeruji besi.

Disitu, Dhamantra menanyakan seputar kabar keduanya, yang dijawab keduanya dengan kata "baik-baik saja". Mereka berdua kembali menegaskan krama adat Bali tetap harus berjuang untuk bumi pertiwi Bali.

Selang setengah jam, pertemuan berakhir. Dhamantra menyatakan bahwa kunjungan ini sebagai support moril karena keduanya merupakan krama (warga) Bali yang merupakan pejuang untuk tanah kelahirannya. Sehingga, bentuk support ini sebagai sikap dirinya yang tetap menolak adanya Reklamasi Teluk Benoa.

"Saya secara pribadi dan semua warga Bali khususnya, krama penolak Reklamasi Teluk Benoa, akan melawan kesewenang-wenangan ini. Mereka (Gung Omledh dan De John) tidak pernah berniat melakukan penghinaan. Niat tidak ada, tapi ada penahanan. Krama Bali Penolak Reklamasi Teluk Benoa akan melawan hal ini," tegas politisi PDI Perjuangan ini.

Dia kemudian memperingatkan bahwa Polisi harus berhati-hati dalam mengadili perjuangan rakyat. Karena kesalahan kebijakan, yang dilakukan polisi maka akan berdampak adanya dugaan penindasan kepada rakyat. Pendek kata, melakukan kriminalisasi terhadap warganya.

Sebab, menurut Dhamantra, penegakan hukum dan kriminalisasi itu bedanya sangat tipis. Dimana keadilan, menjadi pembatas di antara keduanya. Dan membuktikan keadilan itu sendiri, tergantung dari kehadiran objektifitas aparat melihat persoalan ini. Objektifkah atau penuh dengan nuansa subjektifitas.

"Dan itu bisa dibuktikan bila aparat bisa menujukkan adanya niat mereka untuk menistakan bendera merah putih. Itu semua, jelas termaktub dalam UU No 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang negara. Subtansinya ialah adanya niat penistaan itu sendiri. Jika tidak bisa membuktikan niat, maka polisi telah melakukan kriminalisasi," ujarnya.

Menurutnya, persoalan niat itu harus dipandang menyeluruh. Pertama ketika kedua aktivis itu memang melakukan penistaan, pasti pengibaran bendera ForBali di atas bendera merah putih. Atau keduanya melakukan penurunan sangsaka Merah-Putih dan tidak menaikkan lagi. Namun yang terjadi bendera itu tidak diturunkan oleh mereka berdua. Karena rasa Nasionalisme mereka bendera itu dinaikkan lagi, dan ada bendera ForBALI di tiang yang sama.

"Yang menjadi pembuktian itu harusnya niatnya. Kalau tidak bisa, sifatnya mereka hanya lalai. Toh kalau seandainya dalam aksi di tempat itu ada tiang bendera lain, mungkin saja mereka tidak akan mengibarkan bendera ForBali di bawah bendera merah putih," jelasnya.

"Yang perlu menjadi catatan, mereka tidak pernah menurunkan bendera merah-putih. Mereka menaikkan lagi bendera merah putih itu, karena nasionalisme mereka kepada Indonesia. Dan pengakuan adanya bendera ForBali itu karena mereka mencintai tanah kelahirannya. Dan di tiang yang sama, itu bukan karena niat melecehkan lambang negara." [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA