Pasal itu memuat tentang ketentuan terkait boleh masuknya produk hewan dari zona tertentu, khususnya hewan ruminansia dari impor berbasis zona, bukan berbasis negara/country.
"Ini yang menjadi titik tolak kami mengajukan judicial review atas pasal tersebut, yakni UU nomor 41 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan," kata Ketua Dewan Peternak Rakyat Nasional (Depernas), Teguh Boediyana, di Plaza Festival, Jakarta, Kamis, (26/1).
Depernas merupakan pemohon uji materi tersebut yang didaftarkan pada 16 Oktober 2015. Semua proses sudah berjalan, mulai dari pemeriksaan saksi ahli dan sebagainya, hingga selesai pada tanggal 12 Mei 2016.
Pihaknya berharap putusan MK agar segera dikeluarkan secepatnya karena pada saat yang bersamaan, pemerintah memberi sinyal akan mengimpor daging dari negara yang bukan berbasis negara tapi berbasis zona. Sinyal impor ini dalam rangka memenuhi daging murah.
"Kami merespons, pemerintah jangan mengeluarkan kebijakan itu sebelum keluar putusan MK, tapi diabaikan," beber Teguh.
Pada akhirnya pemerintah tetap mengimpor daging dari negara yang belum memiliki status bebas penyakit mulut dan kuku (PMK).
Pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengimpor sapi inilah yang kemudian ditenggarai Teguh menjadi alasan MK tak kunjung mengeluarkan hasil putusan soal gugatan mereka.
"Kita tahu bisnis impor ini cukup besar. Sedangkan kami dalam judicial review, pertimbangan utama adalah perlindungan kepada ternak ruminansia dalam negeri. Ya sapi, kerbau, kambing, domba yang harus dilindungi. Karena penyakit mulut dan kuku itu penyakit hewan yang paling berbahaya," urai Teguh.
[zul]
BERITA TERKAIT: