Menurut Patrialis, putusan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 22E yang mengatur prinsip dasar pelaksanaan Pemilu.
Ia mengurai bahwa akar dari putusan MK itu secara jelas membagi pemilu dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Tahap kedua, yang dilakukan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun lima bulan setelah pelantikan, adalah pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota).
Namun, kata Patrialis, pembagian Pemilu menjadi dua tahap tersebut tidak sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
"Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pemilu hanya satu kali dalam lima tahun. Bukan dua kali seperti yang diputuskan oleh MK," kata Patrialis yang diundang sebagai ahli dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat 4 Juli 2025.
Patrialis menambahkan, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyebut bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD.
Atas dasar itu, kata Patrialis, seluruh proses pemilihan tersebut harus dilakukan secara serentak dan tidak boleh dipisah-pisahkan dalam dua momen pemilu yang berbeda.
"Yang dipilih melalui Pemilu setiap lima tahun sekali adalah anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden serta anggota DPRD secara serentak dan tidak dipisah-pisahkan, karena berada dalam satu tarikan nafas," ujarnya.
Di sisi lain, Patrialis menyoroti keberanian MK memasukkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke dalam rezim pemilu yang kedua.
"Ini tidak sesuai, karena pilkada tidak termasuk dalam objek pemilu yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945," kata Patrialis.
Lebih jauh, Patrialis mengingatkan bahwa kewenangan MK terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
MK hanya diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, memutus sengketa hasil pemilu, serta membubarkan partai politik.
Dengan begitu, MK tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan atau mengubah substansi UUD.
"Apapun yang dilakukan oleh MK, rujukannya haruslah UUD 1945. MK tidak diberi kewenangan untuk merubah Konstitusi. Yang berhak merubah Konstitusi hanyalah MPR. Jika MK sampai mengubah substansi UUD, maka MK justru melanggar konstitusi itu sendiri," demikian Patrialis.
BERITA TERKAIT: