Menurut Iwan Gunawan selaku kuasa hukum Budi, tuntutan jaksa KPK terhadap kliennya berbeda jauh dengan tuntutan kepada terdakwa mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti dan terdakwa Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir. Yang sangat jelas merupakan aktor utama dalam kasus tersebut.
Iwan melihat adanya kejanggalan dalam tuntutan jaksa terhadap kliennya. Pertama status juctice collaborator (JC) diberikan kepada Damayanti dan Abdul Choir saat menjadi tersangka, sementara kliennya yang telah melaporkan gratifikasi dari Abdul Khoir melalui Damayanti dianggap suap. Itu pun dilaporkan sebelum kliennya ditetapkan sebagai tersangka.
Selanjutnya, dia menilai status JC Damayanti dan Abdul Khoir tidak meringankan tuntutan maupun putusan, melainkan hanya untuk mendapatkan hak-hak sebagai narapidana seperti remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat. Sedangkan pelaporan gratifikasi yang dilakukan kliennya dibenarkan secara hukum dan dapat membebaskan penerima gratifikasi.
Menurutnya, pemberantasan korupsi tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang melanggar aturan terlebih melampaui batas keadilan.
"Terdapat perlakuan yang kontras dan cenderung mengarah diskriminasi yang dilakukan oleh institusi KPK," jelas Iwan kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/11).
Ketiga, Iwan menduga tingginya tuntutan kepada kliennya lantaran pimpinan KPK tersinggung ketika penasihat hukum memutar rekaman video di persidangan yang berisi wawancara pimpinan KPK Saut Situmorang di stasiun televisi nasional.
Inti dari wawancara tersebut menyatakan Budi Supriyanto dijadikan tersangka karena mengembalikan uang gratifikasi dalam jangka waktu lebih dari 30 hari. Padahal, faktanya, Budi telah mengembalikan gratifikasi 19 hari sejak penerimaan.
"Jikapun gratifikasi yang dianggap suap tersebut memang suap murni, dalam kondisi dan situasi yang menimpa klien saya apa yang seharusnya dilakukan oleh klien saya menurut KPK. Apakah uang tersebut jangan dilaporkan, harus dihabiskan dahulu, dikembalikan kepada pemberi atau keluarganya," ujar Iwan.
Kuasa hukum Budi yang lain Melisa menambahkan bahwa yang dekat dengan keadilan dan kepastian hukum adalah menerapkan Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Tipikor meski sesungguhnya pasal tersebut bukan mengenai gratifikasi, melainkan gratifikasi yang dianggap suap. Jika yang diterapkan adalah Pasal 12 huruf (a) maka pendzoliman akan terjadi dan ketidakpastian hukum terpapar di depan mata.
"Jika majelis hakim sependapat dengan tuntutan jaksa KPK terkait dengan penerapan Pasal 12 huruf (a) UU Tipikor maka seluruh pimpinan dan anggota Komisi V DPR RI tinggal menunggu antrian untuk masuk Gedung KPK dengan wajah pucat pasi karena menyandang status tersangka," bebernya.
"Majelis hakim juga dapat menjadi pahlawan melalui putusan-putusan yang berani. Tentunya berani dalam koridor hukum dengan menerapkan Pasal 12B dan Pasal 12C UU Tipikor," pungkas Melisa.
Diketahui, Budi didakwa dengan Pasal 12 huruf (a) dan Pasal 11 junto Pasal 55 ayat 1 ke (1) UU Tipikor dan dituntut melanggar Pasal 12 huruf (a) UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP oleh jaksa KPK dengan tuntutan sembilan tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsider empat bulan penjara.
Sedangkan dalam perkara yang sama, Damayanti hanya dituntut dengan Pasal 12 huruf (a) UU Tipikor junto Pasal 65 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan tuntutan enam tahun penjara, yang kemudian divonis 4,5 tahun penjara. Untuk Abdul Khoir dituntut dengan Pasal 5 ayat 1 huruf (a) junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 UU Tipikor junto Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan tuntutan 2,5 tahun yang kemudian divonis empat tahun penjara.
Pasal 65 KUHP sendiri mengatur mengenai perbarengan atau concursus realis atau perbuatan pidana yang dilakukan berulang-ulang dalam suatu waktu tertentu.
[wah]
BERITA TERKAIT: